ANALISA PENERAPAN AKAD MURABAHAH DI BANK SYARIAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT tidak hanya diperintahkan untuk
beribadah kepada Allah semata. Dalam pada itu, manusia juga diberikan tugas
oleh Allah SWT untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan hidupnya di
muka bumi.
Tugas ini memang tidak mudah, namun Allah SWT telah membuat sebuah sistem yang berfungsi sebagai pedoman dan pengantur bagi manusia untuk memelihara kesejahteraan hidupnya di muka bumi. Sistem ini bernama Din Islam (baca : Agama Islam).
Tugas ini memang tidak mudah, namun Allah SWT telah membuat sebuah sistem yang berfungsi sebagai pedoman dan pengantur bagi manusia untuk memelihara kesejahteraan hidupnya di muka bumi. Sistem ini bernama Din Islam (baca : Agama Islam).
Agama Islam merupakan sebuah sistem yang mengatur kehidupan manusia dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sistem ini tidak hanya mengatur
tentang hubungan manusia dengan Allah SWT, atau yang sering disebut hubungan
vertikal. Namun, lebih dari itu agama islam sebagai sebuah sistem juga mengatur
hubungan antar sesama manusia dan seluruh ciptaan Allah SWT, misalnya tumbuhan
dan hewan.
Dalam agama Islam, hubungan antar sesama manusia di bahas dalam ilmu fiqh (
baca : fiqh muamalat ), misalnya hubungan antara 2 pihak yang melakukan jual
beli dengan akad murabahah. Secara sederhana akad murabahah berarti perikatan
jual-beli barang dimana pembeli mengetahui jumlah keuntungan yang diambil oleh
si penjual. Dalam konteks perbankan syariah saat ini, akad murabahah
merupakan salah satu akad utama, atau bahkan paling dominan, yang sering
digunakan oleh para praktisi perbankan syariah dalam menyediakan kebutuhan
pembiayaan nasabah.
Berdasarkan Statistik Perbankan Syariah Bulan Juni 2011 yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia, bahwa portofolio pembiayaan atas dasar akad murabahah yang
telah disalurkan oleh perbankan syariah adalah sebesar Rp 46,161 millyar. Angka
ini adalah yang paling tinggi dibandingkan dengan penyaluran pembiayaan dengan
akad selain murabahah, seperti akad mudharabah (Rp 9,549 milyar) dan akad
musyarakah (Rp 16, 295 milyar).
Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik membahas lebih dalam mengenai akad
murabahah yang dihubungkan dengan penerapannya secara riil di salah satu Bank
Syariah, yaitu Bank Panorama Syariah (selanjutnya disebut ‘BPS’).
B. PEMBATASAN MASALAH
Akad murabahah bisa diterapkan untuk semua jenis pembiayaan yang disediakan
oleh BPS, misalnya Pembiayaan iB Multiguna (untuk pembelian bahan material,
barang-barang elektronik, kesehatan, pendidikan, pengangkutan, perjalanan
umroh, dan keperluan lainnya), KPR iB, Pembiayaan iB Modal Kerja, Pembiayaan iB
Investasi dan KUR iB. Dalam konteks ini, penulis membatasi analisis penerapan
akad murabahah di BPS hanya pada KPR iB. Mengingat, secara umum penerapan
akad murabahah di BPS untuk seluruh pembiayaan yang tersebut di atas relatif
sama. Selain itu, KPR iB merupakan produk utama yang dipasarkan oleh BPS.
C.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana penerapan akad Murabahah di BPS ?
2. Apakah dalam penerapan akad tersebut terdapat perbedaan antara praktiknya di bank syariah dan teori murabahah secara fiqh ?
3. Apakah dalam akad murabahah terdapat klausul-klausul yang dapat merusak akad ?
4. Apa solusi agar hal-hal ( angka 3) tersebut dapat sesuai dengan syariah ?
5. Apa saja kendala yang ditemukan jika solusi tersebut dilaksanakan ?
BAB II
TEORI MURABAHAH
A. DEFENISI
MURABAHAH
Murabahah adalah bentuk jual beli barang dengan tambahan harga atas harga
pembelian yang pertama secara jujur. Murabahah menurut para ulama adalah akad jual
beli dimana penjual menyebutkan
harga beli barang yang akan dijual kepada pembeli dan penjual mensyaratkan laba atas penjualan dalam jumlah
tertentu yang disepakati. Karena
dalammurabahah terdapat
adanya keuntungan yang disepakati
maka karekteristik murabahah adalah si penjual harus memberi tahu pembeli tentang harga pembelian barang dan
menyatakan jumlah keuntungan
yang ditambahkan biaya tersebut.[3]
Merujuk Fatwa DSN No.04/DSN-MUI/IV/2000 tanggal
01 April 2000 tentang Murabahah, dinyatakan bahwa :
“Murabahah adalah menjual
suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli
membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba”
B. DASAR
HUKUM
1. Al-Qur’an
a) QS. al-Baqarah [2]: 275 ;
“...Allah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.. .”
b) QS. al-Nisa [4]: 29 ;
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta kamu diantara kamu dengan cara batil, tetapi
(hendaklah) perniagaan
yang berdasarkan kerelaan diantara kamu”
2. Hadits
a) HR. al-Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh
Ibnu Hibban dari Abu Sa’id Al-Khudri :
“… bahwa Rasulullah SAW bersabda; "Sesungguhnya jual
beli itu harus dilakukan suka sama suka."
b) HR. Ibnu Majah dari Shuhaib :
“Nabi bersabda, ‘Ada tiga hal yang mengandung berkah:
jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum
dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.”
3. Ijma ‘
Dasar hukum murabahah menurut ijma' para ulama adalah umat Islam telah berkonsesus tentang
keabsahan jual beli, karena manusia sebagai anggota masyarakat selalu
membutuhkan apa yang dihasilkan dan dimiliki orang lain, oleh karena itu jual beli
adalah salah satu jalan untuk mendapatkannya secara sah, dengan
demikian maka mudahlah bagi setiap individu untuk memenuhi kebutuhannya.[4]
Selain
itu, merujuk Fatwa DSN No.04/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 01 April 2000 tentang
Murabahah, dinyatakan bahwa :
“Mayoritas
ulama tentang kebolehan jual beli dengan cara Murabahah
(Ibnu
Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, juz 2, hal. 161; lihat pula al-Kasani, Bada’i as-Sana’i,
juz 5 Hal. 220-222).
C. RUKUN
MURABAHAH
1. Penjual
(Baai’)
2. Pembeli
(Musytari)
3. Obyek Akad : Barang (Mabii’) & Harga (Tsaman)
4. Sighot: Serah (ijab) & Terima (qabul)
D. SYARAT
MURABAHAH
1. Syarat Pihak yang berakad : (Baai’ dan Musytari) Cakap
Hukum
2. Syarat Mabii’ :
a) Mabii’ Tidak termasuk yang diharamkan / dilarang (maal
ghair mutaqawwim)
b) Penyerahan mabii’ dari penjual ke pembeli dapat dilakukan
c) Mabii’ merupakan hak milik penuh penjual
d) Spesifikasi mabii’ harus jelas dari aspek kuantitas, kualitas, dll
3. Syarat Tsaman :
a) Harga
Jual barang yang terdiri dari harga beli barang oleh penjual (as-sir)
ditambah dengan jumlah keuntungan (ribhun). Tsaman yang akan disepakati
harus jelas jumlahnya.
b) Pembeli
harus mengetahui jumlah keuntungan (ribhun) yang diperoleh penjual.
4. Syarat
Sighot :
a) Harus
jelas dan disebutkan secara spesifik dengan siapa berakad
b) Tidak
mengandung klausul yang bersifat menggantungkan keabsahan transaksi pada
hal / kejadian yang akan datang.
BAB III
PEMBAHASAN
A. PENERAPAN MURABAHAH PADA
BPS
Penerapan akad murabahah
untuk penyaluran pembiayaan di BPS dilakukan dengan 2 model ; i) model pertama
; akad murabahah saja dan ii) model kedua ; akad murabahah yang disertai dengan
akad wakalah kepada nasabah untuk membeli barang.
Merujuk pad Fatwa Dewan
Syariah Nasional Majelin Ulama Indonesia (DSN-MUI). Berikut ketentuan syariah
dari penggunaan akad wakalah dalam ber-murabahah.
Fatwa DSN nomor :
04/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 01 April 2000 tentang Murabahah pada ketetapan
Pertama ayat 9 dinyatakan :“Jika bank (baca : LKS) hendak mewakilkan kepada
nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus
dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.”
Kalimat ”secara
prinsip” yang ada di Fatwa DSN tersebut diterjemahkan dalam tataran praktis
oleh Petugas BPS dengan pernyataan sebagai berikut : ”(dalam murabahah rumah) jika bank telah
melakukan konfirmasi pembelian kepada developer, maka secara prinsip bank telah
membeli rumah. Walaupun secara akuntansi belum terdapat aliran dana
kepada developer, bank berkomitmen untuk melakukan pembayaran uang pembelian
rumah kepada developer yang diwakilkan kepada nasabah dengan menggunakan akad
wakalah.”
Fakta unik yang terjadi
dilapangan, bahwa meskipun BPS melakukan akad wakalah dengan nasabah. Namun
pada prakteknya nasabah tetap tidak menerima uang, dana pembiayaan yang telah dimasukkan ke rekening
nasabah langsung ditransfer ke rekening developer yang ada di BPS maupun bank
lain. Penggunaan akad wakalah dimaksudkan hanya sebatas untuk
membutikan secara hukum positif bahwa nasabah telah menerima pembiayaan dari
bank serta nasabah telah mengetahui telah terjadi transaksi jual-beli antara
bank dengan developer/penjual/suplier. Jika terjadi wanprestasi di kemudian
hari akan tertutup peluang nasabah akan mengingkari bahwa ia telah menerima
sejumlah pembiayaan dari bank.
Berikut ilustrasi dari 2 model
penerapan akad murabahah dalam KPR iB BPS :
1. Nasabah
mengajukan permohonan pembiayaan untuk membeli rumah seharga 250 juta kepada
BPS dengan membawa semua berkas-berkas yang dibutuhkan. Kemudian BPS melakukan
proses analisa pembiayaan.
2. BPS telah
menyetujui permohonan pembiayaan pembelian rumah untuk nasabah, kemudian BPS
melakukan pembelian Barang yang diminta nasabah kepada
Supplier/Penjual/Developer sebesar Rp 250 juta. Dalam contoh ini, nasabah telah
melakukan pembayaran uang muka kepada BPS sebesar Rp 25 juta.
Catatan : Dalam prakteknya di
BPS, uang muka diberikan langsung kepada developer.
3. BPS dan
Nasabah melakukan Akad Pembiayaan berdasarkan
Prinsip
Murabahah selama 10 bulan untuk pembelian rumah dengan total pembiayaan sebesar
Rp 247,5 juta { sudah termasuk keuntungan bank Rp 22,5 juta yang dihitung dari
Rp 225 (harga awal rumah setelah dikurangi DP) }
Catatan : Dalam prakteknya di
BPS, nasabah juga menandatangani Surat Pengakuan (Accept), sejenis surat
sanggup bayar dan atau pengakuan hutang serta nasabah juga membubuhkan paraf
pada lembar riwayat cicilan pembiayaan.
4. Nasabah sudah bisa menempati rumah
5. Nasabah mulai melakukan pembayaran cicilan pertama
sebesar Rp 24,7 juta / bulan kepada BPS hingga sembilan bulan ke depan.
Sebagai catatan bahwa,
mekenisme pertama ini akan digunakan jika BPS telah melakukan kerjasama dengan
Developer KPR dan hanya untuk pembelian rumah baru. Adapun, untuk pembelian
dengan developer lain yang tidak bekerja sama dengan BPS dan pembelian rumah
second maka akan akan melakukan murabahah model 2.
2. Ilustrasi Penerapan Kedua
:
Ket :
1. Nasabah mengajukan permohonan pembiayaan untuk membeli
rumah seharga 250 juta kepada BPS dengan membawa semua berkas-berkas yang
dibutuhkan. Kemudian BPS melakukan proses analisa pembiayaan.
2. BPS telah menyetujui permohonan pembiayaan pembelian
rumah untuk nasabah, kemudian melakukan Akad Wakalah dengan Nasabah
untuk (transfer) pembayaran uang transaksi pembelian rumah atas nama BPS kepada
Developer yang berasal dari rekening nasabah.
2.A ; Nasabah
melakukan Akad Pembiayaan berdasarkan Prinsip Murabahah selama 10 bulan untuk
pembelian rumah dengan total pembiayaan sebesar Rp 247,5 juta { sudah termasuk
keuntungan bank Rp 22,5 juta yang dihitung dari Rp 225 (harga awal rumah
setelah dikurangi DP nasabah sebsar Rp 25 juta) }
3. Setelah bank melakukan pegiriman uang dari rekening
nasabah ke rekening Developer, Nasabah mendapatkan kunci beserta asli kuitansi
pembelian rumah.
4. Nasabah menyerahkan asli kuitansi pembelian rumah kepada
BPS dan nasabah mulai melakukan pembayaran cicilan pertama sebesar Rp 25 juta /
bulan kepada Bank Syariah hingga sembilan bulan ke depan.
B. ANALISA PERBANDINGAN PENERAPAN
MURABAHAH SECARA PRAKTIK & TEORITIK
Berdasarkan ilustrasi
penerapan akad murabahah di BPS tersebut di
atas,
maka terdapat perbedaan antara praktek akad murabahah di lapangan dengan akad
murabahah yang ada di teori fiqih muamalah, yaitu pada :
1.
Bank Bukan Sebagai Penjual Murni ;
Posisi BPS bukanlah sebagai penjual murni
yang memang memiliki persediaan barang (rumah) sebelum melakukan murabahah
dengan nasabah. BPS hanya akan melakukan pembelian rumah sebagai syarat untuk
melakukan murabahah kepada nasabah bilamana sudah dapat dipastikan ada nasabah
yang akan membeli kembali (secara murabahah) rumah tersebut. Pada konteks
inilah terlihat bahwa BPS memang merupakan intermediary institution dan/atau lembaga pembiayaan, bukan sebagai penjual
murni.
Secara teoritik dalam akad
murabahah, baik pada saat transaksi maupun tidak, penjual memang sudah memiliki
persediaan barang untuk dimurabahahkan.
2.
Penggunaan Akad Wakalah ;
Selain melakukan akad murabahah, BPS
ternyata juga melakukan akad wakalah untuk mendelegasikan tugas pembelian rumah
kepada nasabah sebelum dilakukan akad murabahah. Artinya, terdapat indikasi
bahwa nasabah tidak akan mendapatkan barang dari bank melainkan hanya sejumlah
uang pembiayaan.
Fakta yang unik terjadi di
lapangan adalah walaupun BPS menggunakan akad wakalah namun pada prakteknya
nasabah tetap tidak menerima uang, dana pembiayaan yang telah dimasukkan ke rekening
nasabah langsung ditransfer ke rekening developer yang ada di BPS maupun bank
lain. Penggunaan akad wakalah dimaksudkan hanya sebatas untuk
membutikan secara hukum positif bahwa nasabah telah menerima pembiayaan dari
bank serta nasabah telah mengetahui telah terjadi transaksi jual-beli antara
bank dengan developer/penjual/suplier. Jika terjadi wanprestasi di kemudian
hari akan tertutup peluang nasabah akan mengingkari bahwa ia telah menerima
sejumlah pembiayaan dari bank.
Hanya sebagian kecil
nasabah yang akan menerima langsung dana pembiayaan dan itu pun dibatasi dengan
syarat-syarat tertentu, misalnya karakter nasabah yang baik dan jujur.
Secara teoritik dalam akad
murabahah, tidak dikenal penggunaan akad wakalah pada saat transaksi murabahah
antara penjual dan pembeli dilaksanakan.
3.
Pembuatan Surat Accept (Pengakuan Hutang dan atau Sanggup Bayar)
Menurut petugas BPS, bahwa Surat Pengakuan (Accept)
merupakan salah satu diantara beberapa langkah antisipasi bank kepada nasabah
dalam hal pembuktian secara hukum positif bahwa nasabah telah menerima
pembiayaan dalam bentuk uang tunai maupun barang. Jika terjadi wanprestasi di
kemudian hari akan tertutup peluang nasabah akan mengingkari bahwa ia telah
menerima sejumlah pembiayaan dari bank.
Secara teoritik dalam akad
murabahah tidak dikenal adanya ketentuan bahwa pembeli wajib untuk mengakui
hutang-nya yang dibuat secara tertulis dalam lembar dokumen yang berbeda, yaitu
Surat Pengakuan (Accept). Bilamana pembeli telah menyepakati akad
murabahah secara tangguh dengan penjual, maka pembeli secara otomatis sudah
mempunyai kewajiban hutang kepada penjual.
4.
Pembayaran Uang
Muka / Down
Payment (DP)
Seluruh pembiayaan yang disalurkan oleh BPS dengan menggunakan beraneka ragam
akad wajib tunduk pada satu ketetapan dalam SOP pembiayaan BPS yang menyatakan
bahwa setiap nasabah pembiayaan wajib melakukan pembayaran uang muka (dalam
rangka self
financing) yang besarannya variatif
maksimal 20%. Dalam konteks KPR iB, sebelum dilakukan akad pembiayaan, nasabah
wajib melakukan pembayaran uang muka langsung kepada developer.
Secara teoritik dalam akad murabahah tidak ada kewajiban pembeli untuk untuk
membayar uang muka, jika murabahah dilakukan secara tangguh. Namun, jika
penjual dan pembeli telah menyepakati adanya uang muka untuk transaksi
murabahah maka secara syariah dibolehkan.
5.
Potongan
Murabahah Untuk Early
Re-Payment
Fakta dilapangan menunjukkan bahwa sebagian besar nasabah bank syariah masih
memiliki pola fikir layaknya nasabah bank konvensional. Menurut mereka (nasabah
bank syariah), bahwa kewajibannya dalam pembiayaan murabahah dapat dibedakan
antara pokok dan marjin. Nasabah bank syariah, termasuk nasabah BPS, yang akan
melakukan percepatan pelunasan pembiayaan murabahah (early re-payment)
selalu meminta bank syariah untuk mengurangi kewajiban hutang marjin murabahah
mereka kepada bank.
Mengingat, hal ini masih merupakan kebiasan / urf yang
terjadi di industri perbankan (termasuk syariah), maka bank mengakomodir
permohonan nasabah tersebut tentunya dengan jumlah yang proporsional.
Dalam akad murabahah, bahwa harga jual barang adalah penambahan dari harga
pokok pembelian barang dan keuntungan yang akan diambil penjual. Setelah akad
murabahah disepakati penjual dan pembeli, harga pokok dan keuntungan telah
menjadi satu kesatuan yang disebut sebagai harga jual barang murabahah. Tidak
ada lagi pemisahan antara pokok pembelian barang dan keuntungan murabahah.
Dalam akad jual-beli tangguh (murabahah), penjual boleh memberikan potongan
kewajiban. Potongan tersebut akan digolongkan sebagai sedekah penjual kepada
pembeli. Namun, penjual dilarang untuk melakukan penambahan atas kewajiban
pembeli untuk maksud apapun. Mengingat, setelah akad murabahah (secara tangguh)
disepakati antara penjual yang diikuti dengan penyerahan barang, maka jual-beli
telah sempurna dilakukan sehingga yang muncul kemudian adalah hubungan
hutang-piutang, yaitu hutang pembeli kepada penjual. Sebagaimana diketahui
bahwa setiap tambahan atas hutang itu dilarang, karena (tambahan tersebut)
merupakan riba yang diharamkan.
6.
Penyerahan Jaminan Dari Nasabah/Pembeli
Seluruh pembiayaan yang disalurkan oleh BPS
dengan menggunakan beraneka ragam akad wajib tunduk pada satu ketetapan dalam
SOP pembiayaan BPS yang menyatakan bahwa setiap pembiayaan yang akan disalurkan
wajib disertai dengan jaminan. Dalam konteks KPR iB, rumah yang menjadi objek
pembiayaan itu sendiri yang dijadikan jaminan atas pembiayaan murabahah rumah.
Bank melakukan pengikatan secara Hak Tanggungan atas rumah tersebut.
Secara teoritik dalam akad
murabahah tidak ada kewajiban pembeli untuk untuk menyediakan jaminan dalam
rangka pelaksanaan akad murabahah, jika murabahah dilakukan secara tangguh.
Namun, jika pembeli telah menyepakati adanya jaminan tersebut, baik jaminan
tambahan dan atau objek murabahah yang dijadikan sebagai jaminan, maka secara
syariah dibolehkan.
C. ANALISA PERJANJIAN MURABAHAH
Akad perjianjian yang
digunakan adalah transaksi yang sebenarnya terjadi di BPS. Namun, dalam rangka
menjaga prinsip kerahasiaan bank, maka seluruh identitas kedua belah pihak
disamarkan.
1.
Profil Perjanjian Murabahah
Nama yang digunakan oleh BPS dalam
menerapkan akad murabahah di transaksi pembiayaan adalah Perjanjian Pembiayaan
Murabahah. Perjanjian ini terdiri dari 18 (delapan belas) pasal yang terdiri
dari ;
a) Pasal 1 Jumlah Pembiayaan
b) Pasal 2
Tujuan Pembiayaan
c) Pasal 3 Jk.
Waktu Pembiayaan
d) Pasal 4
Penarikan Pembiayaan
e) Pasal 5
Keuntungan Bank
f) Pasal 6
Biaya-biaya
g) Pasal 7 Pembayaran Kembali Pembiayaan
h) Pasal 8 Jaminan
i) Pasal
9 Kuasa Bank Atas Rekening Penerima Pembiayaan
j) Pasal
10 Kewajiban Penerima Pembiayaan
|
k) Pasal 11 Pembatasan Tindakan Penerima Pembiayaan
l) Pasal 12 Pernyataan Penerima Pembiayaan
m) Pasal 13
Peristiwa Cidera Janji (Wan Prestasi)
n) Pasal 14
Koresponden
o) Pasal 15
Penyelesaian Perselisihan
p) Pasal 16
Perubahan Atas Perjanjian
q) Pasal 17
Lampiran-Lampiran
r) Pasal 18
Penutup
|
2.
Pemenuhan Terhadap Syarat & Rukun Murabahah
Secara umum konstruksi perjanjian murabahah
yang dibuat BPS telah memenuhi syarat & rukun murabahah dengan rincian
sebagai berikut :
Syarat Murabahah
|
Keterangan
|
Syarat Penjual
|
xxx, Pemimpin PT. Bank BPS Cabang xxx, beralamat xxx,
untuk selanjutnya disebut BANK.
|
Syarat Pembeli
|
xxx, pekerjaan karyawan di xxx , alamat xxx,
selanjutnya disebut PENERIMA PEMBIAYAAN.
|
Syarat Barang
|
Pasal 2 Tujuan Pembiayaan
|
Syarat Harga
|
Pasal 1 Jumlah Pembiayaan
|
Syarat Keuntungan
|
Pasal 5 Keuntungan Bank
|
Syarat Sighat Akad Murabahah
|
a. Bahwa PENERIMA
PEMBIAYAAN bermaksudmengajukan permohonankepada BANK untuk mendapatkan
pembiayaan dengan prinsip Murabahah.
b. Bahwa BANK
menyetujui untuk menyediakan pembiayaan dengan prinsip
Murabahah kepada PENERIMA PEMBIAYAAN, untuk selanjutnya disebut
Pembiayaan.
c. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, KEDUA BELAH PIHAK
sepakat mengikatkan diri untuk mengadakan PERJANJIAN PEMBIAYAAN MURABAHAH
dengan ketentuan dan syarat-syarat sebagai berikut:
d. Pasal 18
Penutup
|
Rukun Murabahah
|
Keterangan
|
Penjual
|
Bank
|
Pembeli
|
Penerima Pembiayaan
|
Barang
|
Pasal 2 Tujuan Pembiayaan
|
Harga ( termasuk keuntungan)
|
Pasal 1 Jumlah Pembiayaan & Pasal 5 Keuntungan Bank
|
Sighat Akad Murabahah
|
a. Berdasarkan
hal-hal tersebut di atas, KEDUA BELAH PIHAK sepakat mengikatkan diri untuk
mengadakan PERJANJIAN PEMBIAYAAN MURABAHAH dengan ketentuan dan syarat-syarat
sebagai berikut:
b. Pasal 18 Penutup
|
3.
Koreksi Atas Pasal 1 Jumlah Pembiayaan
Pada Pasal 1 tentang Jumlah Pembiayaan ditulis hal
sebagai berikut ;
Pasal
1
JUMLAH PEMBIAYAAN
BANK sepakat memberi
Pembiayaan kepada PENERIMA PEMBIAYAAN dan PENERIMA PEMBIAYAAN mengaku dan
menyetujui telah memperoleh pembiayaan dari BANK sebesar Rp. 72.500.000,-
(Tujuh Puluh Dua Juta Lima Ratus Ribu rupiah), dengan rincian sebagai berikut:
Harga
Barang
= Rp 50.000.000
Margin keuntungan
= Rp
22.500.000
JUMLAH
PEMBIAYAAN = Rp 72.500.000
|
Jika BPS menyatakan hal tersebut,
maka terdapat ketidakjelasan terhadap harga jual barang dan status uang muka
pembiayaan nasabah. Menurut penulis, tidak adanya informasi tentang harga jual
dan uang muka nasabah dalam Perjanjian dapat merusak akad murabahah yang dibuat
BPS.
Seharusnya, BPS
mencantumkan informasi tentang Harga Jual (harga pokok dan keuntungan) dalam
Perjanjian Pembiayaan Murabahah karena itu merupakan salah satu kesempurnaan
pelaksanaan akad murabahah. Harga barang sebesar Rp 50.000.000,- (Lima puluh
juta) bukanlah harga jual yang sebenarnya dari barang murabahah. Melainkan
harga yang telah dikurangi uang muka nasabah.
Seharusnya, BPS juga mencantumkan
informasi keberadaan uang muka murabahah yang telah dibayar oleh nasabah.
Mengingat, berdasarkan SOP pembiayaan bahwa setiap nasabah pembiayaan wajib
melakukan pembayaran uang muka (dalam rangka self financing) yang besarannya variatif maksimal 20%.
Berdasarkan pertimbangan
di atas, seharusnya BPS menyatakan dalam pasal 1 dengan isi sebagai berikut :
Dirubah menjadi :
Pasal 1
JUMLAH PEMBIAYAAN
BANK sepakat memberi
Pembiayaan kepada PENERIMA PEMBIAYAAN dan PENERIMA PEMBIAYAAN mengaku dan
menyetujui telah memperoleh pembiayaan dari BANK sebesar Rp. 72.500.000,-
(Tujuh Puluh Dua Juta Lima Ratus Ribu rupiah), dengan rincian sebagai berikut:
Harga Beli
= Rp 62.500.000
Margin Keuntungan
= Rp 22.500.000 + (dihitung
dari Harga barang – DP)
Harga
Jual
= Rp 85.000.000
DP Nasabah
= Rp
12.500.000 -
JUMLAH PEMBIAYAAN = Rp 72.500.000
|
4.
Koreksi Atas Pasal 2 Tujuan Pembiayaan
Pada Pasal 2
tentang Tujuan Pembiayaan ditulis hal sebagai berikut ;
a. Ayat 1
Tujuan Pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal (1) adalah untuk Pembelian Rumah.
|
Jika BPS menyatakan hal tersebut, maka terdapat ketidakjelasan terhadap barang
(rumah) yang di-murabahah-kan. Ketidakjelasan dimaksud adalah i) pada lokasi rumah yang
menjadi objek murabahah dalam perjanjian tersebut tidak diketahui dan ii)
spesifikasi luas rumah. Menurut penulis, tidak adanya informasi lokasi rumah
dan luas rumah yang sebenarnya dalam Perjanjian sudah merusak akad murabahah
yang dibuat BPS.
Seharusnya, BPS mencantumkan informasi tentang lokasi rumah dalam Perjanjian Pembiayaan
Murabahah karena itu merupakan salah satu syarat sahnya akad murabahah.
Berdasarkan pertimbangan di atas, seharusnya BPS menyatakan dalam pasal 2 ayat
1 dengan isi sebagai berikut :
Dirubah menjadi :
Pasal 2
TUJUAN PEMBIAYAAN
Tujuan
Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal (1) adalah untuk Pembelian
Rumah seluas xx m2 dan tanah seluas xx m2 yang beralamat
di
Jl. xxx, Kel xx, Kec. xxx (bila perlu juga dicantumkan ; sesuai dengan IMB nomor
xxx dan SHM nomor xxx.)
|
Menurut penulis
tidak terdapat hambatan dengan hukum positif jika dilakukan perbaikan terkait
angka 4 di atas. Khusus untuk kebijakan ; surat accept dan penggunaan akad
wakalah (yang dimaksudkan hanya sebatas untuk membutikan secara hukum positif
bahwa nasabah telah menerima pembiayaan dari bank serta telah mengetahui
terjadi transaksi jual-beli murabahah antara bank dengan
developer/penjual/suplier), maka kedua hal tersebut dapat diterima secara
syariah selama para pihak saling mengetahui dan menyetujui. Selain itu, upaya
tersebut merupakan upaya penyelarasan hukum syariah dan hukum positif.
Jika ditinjau dari
aspek aturan internal bank, maka keberadaan jaminan dari nasabah pembiayaan
merupakan hal yang wajib dipenuhi nasabah. Sebab bila tidak dilakukan maka bank
akan mengalami kesulitan serta dapat menimbulkan risiko operasional bagi bank,
yaitu pelangaran aturan internal (SOP). Oleh sebab itu, selama penyerahan
jaminan disepakati oleh nasabah, maka hal dibolehkan dalam syariah.
Berdasarkan
pertimbangan di atas, maka secara umum tidak terdapat hambatan dengan hukum
positif maupun kebijakan internal bank, bilamana BPS bersedia menerapkan solusi
yang telah penulis tawarkan.
BAB IV
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1. Penerapan akad murabahah untuk
penyaluran pembiayaan di BPS dilakukan dengan 2 model ; i) model pertama ; akad
murabahah saja dan ii) model kedua ; akad murabahah yang disertai dengan akad
wakalah kepada nasabah untuk membeli barang.
2. Terdapat 6 (enam) perbedaan
antara praktik murabahah bank syariah dan teori murabahah secara fiqh, yaitu :
Bank Bukan Sebagai Penjual Murni, Penggunaan Akad Wakalah, Pembuatan Surat
Accept (Pengakuan Hutang dan Sanggup Bayar), Pembayaran Uang Muka / Down
Payment (DP), Potongan Murabahah Untuk Early Re-Payment dan Penyerahan Jaminan
Dari Nasabah/Pembeli.
3. Nama yang digunakan oleh BPS
dalam menerapkan akad murabahah di transaksi pembiayaan adalah Perjanjian
Pembiayaan Murabahah. Perjanjian ini terdiri dari 18 (delapan belas) pasal.
Terdapat beberapa pasal yang menurut penulis dapat merusak akad murabahah yaitu
Pasal 1 tentang Jumlah Pembiayaan yang tidak mencantumkan Harga Jual Barang
Kepada Nasabah dan Uang Muka Nasabah serta Pasal 2 tentang Tujuan Pembiayan
yang tidak mencantumkan spesifikasi luas dan lokasi rumah yang di-murabahah-kan
dari bank ke nasabah.
4. Solusi atas ketidaksempurnaan
tersebut adalah melakukan perubahan rincian perhitungan murabahah dan
penambahan luas serta lokasi rumah sebagaimana yang dijelaskan pada bab
pembahasan.
5. Khusus untuk kebijakan ; surat
accept, penggunaan akad wakalah dapat diterima secara syariah selama kedua
belah pihak saling mengetahui dan menyetujui. Selain itu, upaya tersebut
merupakan upaya penyelarasan hukum syariah dan hukum positif.
REFERENSI :
Haroen, Nasroen. Fiqh Muamalah. tth.Jakarta : Gaya Media Utama.
Karim, Adiwarman Bank Islam dan Analisis dan
Keuangan. 2001. Jakarta: Gema Insani Press.
Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian
Kualitatif. 1997. Bandung : PT Remaja Rosda Karya. cet. Ke-8.
Muhammad. Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah. 2005. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Syamsir Salam dan Jaenal Aripin. Metodologi Penelitian Sosial. 2006. Jakarta :UIN Jakarta Press.
Sabiq, Sayyid.
2008. Fiqhus Sunnah. (Terj : Asep Sobari, Muhil Dhofir, Sofwan Abbas & Amir Hamzah), Jil.
3 . Jakarta : Al-I’tishom Cahaya Umat.
[1] Lexy Moleong, Metodologi Penelitian
Kualitatif. 1997. Bandung : PT Remaja Rosda Karya. cet. Ke-8. h. 6
[2] Syamsir Salam dan Jaenal Aripin. Metodologi Penelitian Sosial. 2006. Jakarta : UIN Jakarta Press h. 30
[3] Adiwarman Karim. Bank Islam dan Analisis dan
Keuangan. 2001. Jakarta: Gema Insani
Press h. 113
[4] Muhammad. Sistem dan
Prosedur Operasional Bank Syariah. 2005. Jakarta
: Raja Grafindo Persada. h 23
http://irham-anas.blogspot.co.id/2011/11/analisa-penerapan-akad-murabahah-di.html