Kelompok
13
1.
Ahmad Burhanuddin
2.
Eka alfiana
HAKEKAT PEREKONOMIAN DALAM ISLAM
PENDAHULUAN
Dalam kitab Muqaddimah
Ibn Khaldun menyatakan bahwa kemajuan suatu masyarakat, selain karena jumlah
dan keragaman anggotanya, ditandai oleh dinamika pasar-pasarnya. Keberadaan
pasar sendiri merupakan salah satu sunnah terpenting yang diteladankan oleh
Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) sejak awal pembentukan masyarakat
Muslim di Madinah al Munawwarah.
Secara mendasar hakekat
perekonomian dalam Islam adalah pemerataan kesejahteraan, yang diekspresikan
dalam suatu tatanan masyarakat kesejahteraan yang dijalankan oleh suatu Daulah.
Menurut Shaykh Dr Abdalqadir As-Sufi (2002) dalam bukunya Sultaniyya kata
daulah (Arab: dawla) memiliki akar kata dal-alif-lam dan memiliki arti ’merubah
setiap saat, mengambil giliran, menggantikan dan memutar’. Kata daulah hanya
muncul satu kali dalam al Qur’an, aitu pada Surat Al Hasyar ayat 7, yang
artinya: ”Dan apa saja yang diberikan oleh Allah kepada rasul-Nya yang berasal
dari penduduk negeri itu, adalah untuk Allah, untuk rasul, untuk kaum kerabat
dan anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil, agar harta itu tidak beredar hanya
di antara orang yang kaya di antaramu.”
Kata daulah ini juga
bermakna ’memenangkan dan mengungguli’; juga memiliki arti ’menukar, dan
meneruskan’. Dari sini dijelaskan pengertiannya yang lebih luas bahwa tatanan
politik dan ekonomi Islam harus didasarkan kepada pergerakan dan pemerataan
kekayaan. Tiga kekuatan yang melekat di dalamnya yang akan menggerakkan
kekayaan ini adalah: pasar dan perdagangan, zakat dan, sebagai instrumen
pemerataan terakhir, melalui jalan pembagian harta pampasan perang (ghanam).
Bentuk-bentuk interaksi
sosial, baik yang komersial maupun nonkomersial, disebut muamalat. Tugas
Daulah, pemerintahan Islam, adalah memastikan muamalat dapat berjalan tanpa ada
distori.
Unsur pokok dan penting
lain yang dapat menjamin kebebasan bertransaksi di pasar adalah dicegahnya
berbagai bentuk riba. Dalam Al Qur’an Allah SWT secara tegas menyatakan
dihalalkannya perdagangan dan diharamkannya riba. Karena itu, untuk memahami
hakekat perekonomian dalam Islam, masalah riba ini harus menjadi acuan pokok.
LIMA
PILAR MUAMALAT
Lima Pilar muamalat
terdiri atas:
1. Suq (Pasar Terbuka) Muamalat merupakan penegasan dan perlindungan
pada perdagangan. Muamalat memastikan persamaan hak bagi semua pemain di pasar,
bukan saja terhadap akses, melainkan juga atas prasarana dasar perdagangan.
Konsep dasar muamalat dalam menjamin berjalannya perdagangan Islami adalah
pendirian pasar- pasar terbuka. Perbedaan mendasar antara ’distribusi’ dan
perdagangan adalah ada atau tidaknya prasarana perdagangan umum dan terbuka
yang dapat diakses kapan pun oleh siapa pun yang hendak berdagang dengan posisi
setara. Pasar, dalam ajaran Islam, selain terbuka bagi setiap orang, tidak
boleh dimiliki dan dikuasai oleh orang- orang tertentu saja. Mendirikan
bangunan permanen di pasar, yang mengakibatkan tertutupnya akses bagi umum,
juga tidak dibenarkan apalagi menguasainya. Aturan main di pasar sama dengan
aturan main di masjid.
2. Mekanisme Perdagangan Terbuka (Kafilah
atau Karavan Dagang) Ketersediaan pasar
bagi para pedagang adalah serupa dengan ketersediaan jalan bagi penduduk untuk
bepergian, sekolah untuk belajar, atau mushola untuk salat. Tanpa pasar tidak
mungkin seseorang bisa berdagang. Sepanjang sejarah Islam, para pedagang selalu
bergerak bebas, sendiri-sendiri maupun dalam kafilah-kafilah dagang (Karavan),
dari satu pasar terbuka ke pasar terbuka lainnya. Perlu dipahami adalah Karavan
atah Kafilah Dagang adalah suatu perangkat sosial. Dapat dikatakan sebagai
kebalikan dari jalur distribusi monopolistik. Dalam catatan sejarahwan Mesir,
Muhammad Haekal, misalnya, dalam bukunya yang terkenal Sejarah Hidup Muhammad
(sallallahu’alaihi wasalam) disebutkan omset Karavan Mekah di masa awal
Rasulullah sallallahu’alaihi wassalam mencapai 250 ribu dinar/tahun. Praktis
semua warga Mekah ketika itu terlibat dalam pembiayaan karavan. Karavan milik
Utsman bin Affan sendiri saja, ketika tiba dari Syam pada suatu kali, berjumlah
1000 ekor unta. Satu Karavan, menurut Haekal lagi, adakalanya berangkat dengan
2000 ekor unta, dengan muatan senilai 50 ribu dinar (setara Rp 110 milyar pada
awal 2012) .
3. Kontrak-Kontrak Kemitraan dan Pembiayaan,
khususnya Syirkat dan Qirad (Mudharabah).
Pelarangan riba juga mencegah terakumulasinya kekuasaan melalui
(muslihat) konsep pemilikan mayoritas. Konsep struktur pemilikan kapitalistik
(atas dasar mayoritas saham) bukan saja bertentangan dengan hukum kontrak dalam
Islam (syirkat) tetapi juga, de facto, merupakan bentuk perampasan atas hak
milik pribadi orang lain (pemegang saham minoritas). Muamalat tidak mengenal
istilah ’investor tidur’. Kemungkinan terbentuknya sebuah kemitraan dagang
hanyalah melalui qirad (mudharabah), sedangkan dalam syirkat disyaratkan
keterlibatan ke dua belah pihak secara aktif. Syirkat adalah kemitraan dua atau
lebih orang yang secara bersama-sama menjalankan suatu usaha. Dalam Muwatta,
Buku 35 tentang [Hak] Pemilikan Lebih Dahulu [Syufah] atas Barang, Imam Malik
menyampaikan empat riwayat terkait dengan perkongsian dagang ini. Dalam syirkat
ketersediaan modal tidak selalu dipersyaratkan. Tapi, bila ada modal yang
dilibatkan, maka semua orang yang bermaksud melakukan syirkat harus
menyediakannya, walaupun dalam jumlah yang tidak sama. Nilai partisipasi uang
ini, secara proporsional, akan menjadi nilai saham masing-masing dalam syirkat
yang dibentuknya. Dengan keharusan semua mitra untuk terlibat dalam usaha model
syirkat tidak memungkinkan adanya peluang perampasan hak milik seseorang oleh
orang lain, seperti dalam sistem kapitalis. Ada dua hal pokok lain di dalam
syirkat yang secara prinsipil membedakannya dari sistem kontrak bisnis
kapitalistik. Pertama, syirkat tidak
mengenal hak mayoritas. Semua mitra dalam suatu syirkat memiliki hak
kontraktual yang sepenuhnya sama terlepas dari nilai saham atau jumlah modal
yang disetorkannya.
Kedua, dalam syirkat
tidak dikenal istilah laba, apalagi deviden, yang dibagikan pada setiap akhir
tahun. Yang ada di dalam syirkat adalah pemilikan aset secara bersama,
proporsional menurut saham yang disetorkan, dan setiap mitra berhak untuk
meminta dilakukannya likuidasi atas aset bersama tersebut di setiap saat. Dalam buku 32, dari kitab yang sama Al
Muwatta, Imam Malik menyampaikan 16 butir riwayat yang mengatur berbagai hal
tentang ’Pinjaman untuk Modal’ (Qirad), tentang batasan, persyaratan, yang
dibolehkan dan larangan, utang-piutang, sampai tentang pembayaran terkait dengan
kontrak qirad. Bila disarikan intinya adalah sebagai berikut: - Qirad adalah kontrak kerjasama dagang
antara dua pihak: yang satu adalah pemilik modal dan yang lain adalah pemilik
tenaga yang akan bertindak sebagai Agen bagi pihak pertama. - Pihak kedua
menerima modal dari pihak pertama sebagai pinjaman dan akan membagikan
keuntungan yang diperoleh dari usaha dagang yang menggunakan modal dari pihak
pertama tersebut.
Kondisi-kondisi kontrak
qirad adalah sbb: - Kontrak diawali dan
diakhiri dalam bentuk tunai (Dinar dan Dirham), tidak dalam bentuk
komoditas. - Keuntungan dari usaha, bila
diperoleh, dibagi berdasarkan proporsi yang disepakati sejak awal dan
dituangkan dalam kontrak, misalnya 50:50 atau 45:55.
• Kerugian dagang, bila terjadi, sepenuhnya
(100%) ditanggung oleh pemilik modal. Tetapi kerugian yang ditimbulkan karena
Agen menyimpang dari perjanjian, atau nilainya melebihi jumlah uang yang
diperjanjikan, menjadi tanggungan pihak Agen.
• Kontrak tidak mensyaratkan suatu
garansi apa pun dari pihak Agen kepada pemilik modal akan sukses atau tidaknya
usaha bersangkutan.
• Tidak ada pembatasan kontrak atas
dasar waktu tertentu, melainkan berdasarkan siklus usaha.
• Keuntungan usaha tidak boleh digunakan
oleh pihak Agen sampai semua milik investor telah dibayarkan.
4. Paguyuban-Paguyuban Produksi Mandiri
(Sinf atau Gilda) Syirkat dan qirad akan
menghilangkan status buruh atau ’kelas pekerja’ (working class). Sebab model
hubungan ’buruh-majikan’ dalam pabrik-pabrik yang inheren dalam sistem
kapitalis digantikan dengan model hubungan mu’allim- mubtadi
(’master-apprantice’) dalam gilda-gilda (sinf) atau Paguyuban Produksi. Dalam
konteks Islam, kontrak-kontrak bisnis yang benar (syirkat), dengan sendirinya
akan beroperasi dalam bentuk gilda-gilda
atau, bila bentuknya kemitraan dagang, akan beroperasi sebagai qirad. Yang
terakhir ini akan mengembalikan berjalannya perdagangan yang sebenarnya,
melalui kafilah-kafilah pedagang (karavan), dan bukan sekadar ’konvoi
distributor Telah disebutkan di atas bahwa sistem distribusi monopolistik telah
menutup akses pasar. Lebih jauh, tertutupnya akses pasar, mematikan produksi.
Monopoli pasar menghasilkan monopoli produksi. Kembalinya pasar terbuka, akan
menghidupkan kembali produksi dari usaha-usaha kecil dan menengah, dalam bentuk
paguyuban-paguyuban syirkat.
5. Mata Uang Halal, yakni Dinar dan Dirham,
serta Fulus Dinar adalah koin emas
berkadar 22 karat (91,70%) dengan berat 4,25 gram. Sedangkan Dirham adalah koin
perak murni (99.95%) dengan berat 2.975 gram. Standar berat Dinar dan Dirham
ini telah ditetapkan oleh Rasul SAW pada tahun 1 Hijriyah, dan kemudian
ditegakkan oleh Khalifah Umar ibn Khattab, pada tahun 18 Hijriyah, saat untuk
pertama kalinya Khalifah Umar mencetak koin Dirham. Sedangkan orang yang
pertama kali mencetak Dinar emas Islam adalah Khalifah Malik ibn Marwan pada
tahun 70 Hijriah, dengan tetap mengacu kepada ketentuan dari Rasul SAW maupun
Umar ibn Khattab, yaitu dalam rasio berat 7/10 (7 Dinar berbanding 10 Dirham).
Adapun Fulus adalah alat tukar recehan, terbuat dari tembaga atau canpuran
logam lainnya, yang digunakan secara terbatas untuk nilai dibawah koin perak
terkecil yang tersedia (saat ini koin Dirham terkecil ada pada satuan 1 daniq,
1/6 Dirham).
RIBA,
ALAT TUKAR, DAN KEBEBASAN BERTRANSAKSI
Untuk memahami riba
pertama-tama kita perlu mamahami rukun bertransaksi. Tiga rukun sah tidaknya
transaksi jual beli adalah “suka sama suka” (antaraadhin minkum), “setara”
(mithlan bi mithlin), dan “kontan” (dari tangan ke tangan atau yadan bi yadin).
Ketentuan “antaraadin minkum”, “suka sama suka di antaramu”, merupakan rukun
pertama sahnya sebuah transaksi, yang harus juga berlaku bagi kebebasan memilih
alat tukar. Imam Malik menyatakan bahwa alat tukar adalah: “Semua jenis benda
niaga yang umum diterima sebagai alat tukar.” Jadi, satu-satunya kualifikasi
untuk suatu barang agar dapat atau tidak dapat digunakan sebagai alat tukar
adalah “diterima secara umum”. Rasul SAW
mengindikasikan enam benda niaga sebagai alat tukar, yaitu emas, perak, tepung
(gandum dan barle), korma, dan garam. Tapi, kalau di Jawa para pemilik sawah
lazim membayar upah para pemanen padinya dengan gabah, dan transaksi ini diterima
oleh kedua belah pihak, maka gabah adalah alat tukar. Yang harus kita pahami
adalah persoalan alat tukar ini terkait langsung dengan halal haramnya suatu
bentuk transaksi tertentu, jual-beli, utang-piutang, sewa-menyewa, atau
tukar-menukar. Dalam hadis sahih Muslim, dari Abu Said al Khudri r.a, Rasul SAW
bersabda: ”Transaksi pertukaran emas dengan emas harus sama takaran dan
timbangannya, dari tangan ke tangan (kontan), kelebihannya adalah riba; perak
dengan perak harus sama takaran dan timbangannya, dan dari tangan ke tangan
(kontan), kelebihannya adalah riba; tepung dengan tepung harus sama takarannya
dan timbangannya, dan dari tangan ke tangan (kontan), kelebihannya adalah riba;
korma dengan korma harus sama takaran dan timbangannya, dan dari tangan ke
tangan (kontan), kelebihannya adalah riba; garam dengan garam harus sama
takaran dan timbangannya, dan dari tangan ke tangan (kontan), kelebihannya
adalah riba.” Rukun kedua dalam transaksi (jual beli), sesudah ”suka sama
suka”, adalah ”dari tangan ke tangan” atau kontan. Suatu transaksi yang tidak
kontan belum sah sebagai jual beli, melainkan menjadi transaksi utang piutang,
yang tidak boleh mengandung unsur ”tambahan”. Tambahan dalam utang piutang ini
merupakan riba al fadl. Sebaliknya, penundaan pembayaran pada jual beli yang
membolehkan ditambahkannya keuntungan, mengakibatkan timbulnya riba yang lain,
riba nasi’ah. Rukun ketiga dalam
transaksi (yang melibatkan barang niaga, dan bukan yang melibatkan layanan jasa)
adalah kesetaraan nilai barang yang ditransaksikan, mithlan-bi- mithlin. Dari
hadis di atas kita memahami makna ”emas dengan emas, perak dengan perak, tepung
dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam”, sebagai pertukaran
karena bendanya sejenis. Syaratnya adalah, selain kontan, harus ”sama takaran
dan timbangannya”. Kalau bendanya tak sejenis, boleh tidak setara dalam berat
atau takaran, asal ”suka sama suka” dan ”kontan”, asalkan tetap setara dalam
nilai yang sesuai dengan kesepakatan di pasar.
Imam Malik, dalam Al Muwatta, menyatakan:
“Yang disepakatai di
antara kita mengenai apa pun yang dapat ditimbang selain emas dan perak,
misalnya tembaga, kuningan, timah, timah hitam, besi, tumbuhan, buah ara,
kapas, dan barang-barang lain semacam ini yang ditimbang, adalah tidak ada larangan
untuk membarter semua jenis barang-barang ini dua banding satu, secara tunai.
Tidak ada larangan untuk mengambil satu ritl [ukuran berat sekitar satu pon]
besi untuk dua ritl besi, dan satu ritl kuningan untuk dua ritl kuningan.” Kata ”yang disepakati di antara kita” yang
digunakan oleh Imam Malik menunjukkan bahwa ini merupakan ijma’ atau konsensus
ulama di Madinah. Rasul SAW sendiri menyatakan bahwa pertukaran ”emas dengan
perak” boleh tidak setara dalam timbangannya, asal suka sama suka dan dilakukan
secara kontan.Tidak Semua Benda adalah Uang
Beberapa kaidah di atas
sekaligus menunjukkan pada kita bahwa:
1. benda-benda yang disebutkan dalam hadis
di atas, dan yang sejenisnya, adalah alat tukar (uang);
2. bahwa alat tukar yang boleh digunakan
dalam transaksi (bukan cuma perdagangan barang niaga tapi juga termasuk layanan
jasa) harus memiliki nilai intrinsik, hingga rukun ”sama takaran dan
timbangannya” dapat dipenuhi. Tidak
semua benda niaga dapat dijadikan alat tukar. Secara umum benda niaga yang
dapat dijadikan uang adalah yang ”lazim diterima sebagai alat tukar,” ”daya
simpannya yang lama”, dan ”memiliki takaran atau timbangannya yang dapat
distandarisasi hingga dapat memiliki unit hitung”.
Dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Ahmad dan Thabrani, Rasul SAW mengatakan: ”Jangan kamu bertransaksi satu dinar dengan
dua dinar, satu dirham dengan dua dirham; satu sa’dengan dua sa’ karena aku
khawatir akan terjadinya riba (al Rama’). Seseorang bertanya: ‘Wahai Rasul,
bagaimana jika seseorang menjual seekor onta dengan beberapa ekor kuda atau
seekor onta dengan beberapa ekor onta? Jawab Nabi SAW, ‘Tidak mengapa, asal
dilakukan dengan tangan ke tangan (kontan).
Terkait dengan hal ini
Imam Malik juga meriwayatkan dari Yahya dari Malik dari Naf’i: ”Bahwa Abdullah ibn Umar membeli (menukar)
seekor onta-tunggangan betina dengan empat ekor onta dan dia memastikan akan
mengirimkan keempat-empatnya kepada pembeli di ar-Rabadha.” Metamorfosa Uang
Kertas mengalami perubahan seiring perjalanan zaman, setidaknya dalam tiga
tahap dan bentuk yang berbeda :
1. Tahap pertama, uang kertas muncul sebagai
kuitansi atau bukti utang, yang dikeluarkan oleh satu pihak (dalam hal ini
pandai emas dan perak), yang dapat ditebuskan kembali menjadi koin emas dan perak
milik yang bersangkutan. Karenanya uang kertas ini disebut sebagai promissory
note. Dalam hukum Islam janji utang ini dikenal sebagai dayn.
2. Tahap kedua, para bankir yang sekarang
telah memonopoli itu secara sepihak mengubah uang kertas itu, dari bentuknya
sebagai janji utang, menjadi uang kredit, yaitu ketika uang kertas tidak lagi
bisa ditebuskan kembali menjadi koin emas atau perak, milik seseorang. Meskipun
setiap kali mencetak uang kertas bankir (ketika itu) masih tetap menjaminnya
dengan emas batangan. Inilah yang disebut sebagai sistem standar emas.
3. Tahap ketiga, adalah ketika kaitan antara
emas dan uang kertas dicabut, yakni sejak tahun 1971. Maka, bank sentral dapat
mencetak uang kertas dengan sekehendaknya, tanpa harus memberikan dukungan
komoditas apa pun. Sepenuhnya uang kertas menjadi uang fiat, yang memiliki
nilai dan diterima sebagai alat tukar, sepenuhnya karena dipaksakan melalui
undang-undang tentang uang. Sebagai uang fiat, melalui sistem perbankan, uang
kertas sekarang ini bahkan tidak lagi selalu diperlukan, karena mengalami
transformasi berikut menjadi impuls elektronik. Dengan kartu kredit, kartu
debit, ”kartu flash”, transaksi di mesin anjungan uang (ATM) dan m-banking,
transaksi dilakukan sepenuhnya dengan byte elektronik. Keterlibatan uang kertas
yang diterbitkan oleh bank sentral menjadi sangat kecil, boleh jadi tak sampai
10%, dari seluruh transaksi maya ini. Selebihnya, 90% lebih, hanyalah gelembung
riba. Pada tahap ini, sistem riba telah sampai pada tahap akhirnya, setelah
terus-menerus menggelembung, sampai di satu titik nanti akan meledak. Di muka
telah diuraikan tentang batasan riba, yang akan memperjelas posisi uang kertas,
uang fiat dan segala turunannya, serta sistem perbankan, yang menjadi motor
penggeraknya. Uang kertas pada dasarnya dapat dilihat baik sebagai aset (’ayn)
maupun sebagai janji utang (dayn).
Maka, pilihan posisinya
adalah sebagai berikut:
A. Kalau fakta bahwa uang kertas adalah dayn
diterima, yang berarti ia merupakan janji pembayaran atas sejumlah ’ayn (aset),
maka uang kertas tidak dapat dipakai dalam pertukaran dan larangan ini
berdasarkan pada dua alasan:
1. Dayn tidak dapat dipertukarkan dengan
dayn. Uang kertas ditukar dengan uang kertas adalah ’utang dibayar utang’, yang
haram hukumnya.
2. Dayn atas emas dan perak tidak dapat
dipertukarkan dengan emas dan perak. Ini sangat jelas, benda tak bernilai tidak
dapat ditukarkan dengan benda bernilai.
B. Kalau posisi uang kertas sebagai ’ayn
diterima maka nilainya adalah seberat kertasnya, bukan sebesar angka nominal
yang dituliskan di atasnya. Kalau nilainya ditambahkan, sebagai nilai nominal,
melalui paksaan hukum, maka nilainya telah dikacaukan dan transaksinya, menurut
syariah, adalah batil. Uang kertas, menurut syariah, tidak dapat digunakan
sebagai alat tukar/pembayaran.
Imam Malik dalam
Muwatta, Buku 31 tentang Transaksi Bisnis, butir 34, meriwayatkan Sunnah
berikut:
”Yahya meriwayatkan
kepada saya dari Malik dari Nafi’ dari Abdullah ibn Umar bahwa Umar ibn Khattab
berkata, ’Jangan menjual emas dengan emas kecuali setara dengan yang setara dan
jangan menambahkan sebagian atas sebagian lainnya. Jangan menjual perak dengan
perak kecuali setara dengan yang setara dan jangan menambahkan sebagian atas
sebagian lainnya. Jangan menjual emas dengan perak, yang salah satu darinya ada
di tangan dan yang lainnya dibayarkan kemudian. Bila seseorang meminta kamu
untuk menunggu pembayaran sampai ia pulang kerumahnya, jangan tinggalkan dia.
Saya takutkan rama’ padamu’. Rama’ adalah riba’.” Sejalan dengan hadis dari Rasul SAW yang
sudah dikutip sebelumnya. Hanya, perlu ditambahkan di sini, bahwa dayn atau
promissory note, atau janji pembayaran, itu sendiri halal hukumnya, bila
dipakai secara privat. Maksudnya janji utang ini hanya mengikat dua pihak yang
berkontrak (utang piutang). Janji utang tidak boleh digunakan sebagai alat
tukar yang bersifat publik. Hal ini sangat penting diketahui karena ada pihak
yang mengatakan bahwa dayn itu, bahkan yang berbentuk sejenis dengannya yang
dikenal dengan sebutan sukuk, bukan saja telah dikenal sejak masa nabi, tetapi
juga digunakan sebagai alat tukar atau uang.
Razia Uang Kertas Dari riwayat yang disampaikan oleh Imam
Malik, dalam Al Muwatta kita mengetahui bagimana Zaid ibn Thabit, seorang Sahabat
yang masih hidup meminta Khalifah Marwan ibn al-Hakam, untuk merazia uang
kertas atau sukuk yang digunakan sebagai alat tukar. Selengkapnya, kutipan dari
Imam Malik, adalah sbb: ”Yahya meriwayatkan kepada saya dari Malik bahwa ia
mendengar tentang kuitansi (sukuk) yang diberikan kepada orang-orang di masa
Marwan ibn al-Hakam untuk produk-produk di pasar al-Jar. Orang-orang
memperjualbelikan kuitansi (sukuk) sesama mereka sebelum mereka menyerahkan
barang. Zayd ibn Thabit dan seorang Sahabat rasulullah saw, pergi kepada Marwan
ibn al-Hakam dan berkata, ’Marwan! Apakah kamu telah menghalalkan riba?’ Ia
berkata, ’Saya mohon perlindungan kepada Allah! Apakah itu?’ Ia berkata,
’Kuitansi (Sukuk) ini yang diperjualbelikan orang sebelum mereka menyerahkan
barang.’ Marwan kemudian mengirim para petugas untuk mengikuti mereka dan
merampas kuitansi-kuitansi itu dari tangan mereka dan mengembalikannya kepada
pemiliknya.” Ada satu hal lagi, yang
acap digunakan oleh sementara pihak, untuk membenarkan uang kertas, yaitu
ketika Khalifah Umar ibn Khattab hendak menerbitkan uang atau alat tukar dari
kulit unta. Dengan berbagai pertimbangan keinginan tersebut akhirnya
dibatalkan. Khalifah Umar ibn Khattab pernah berkata: “Saat aku ingin
menjadikan uang dari kulit unta, ada orang yang berkata ‘kalau begitu unta akan
punah’. Maka aku batalkan keinginan tersebut.” Di sini ada dua catatan yang
perlu diberikan. Pertama, yang dimaksud dengan uang dari kulit unta,
sebagaimana yang diinginkan oleh Khalifah Umar ibn Khattab, adalah penggunaan
lembaran komoditas kulit unta (mirip mata uang kulit suku Indian), sebagai alat
tukar. Yang kedua , Uang kertas atau uang fiat yang tidak memiliki nilai tidak
lain adalah alat perampasan harta dan pemajakan kepada setiap pemakainya. Uang
fiat selalu dapat dimanipulasi dengan berbagai cara. Dalam hubungan antarnegara
penetapan salah satu mata uang kertas, yaitu dolar AS, sebagai mata uang
internasional (devisa) untuk lalu lintas dan alat pembayaran perdagangan
internasional, merupakan puncak manipulasi atas umat manusia di seluruh
dunia. Saat ini uang fiat bahkan sudah
bukan berupa kertas lagi, melainkan bit komputer, impuls elektronik. Maka, uang
fiat, bukan dayn juga bukan ’ayn, melainkan adalah ilmu sihir! Uang fiat adalah
salah satu pilar utama, selain bunga dan rumuas cadangan sebagian, sistem
kapitalisme. Muamalat hanya dapat ditegakan di atas pilar-pilar yang lain,
yaitu alat tukar berbasis komoditi (Dinar, Dinar, dan Fulus), pasar terbuka,
perdagangan, dan kontrak- kontrak bisnis yang halal (utamanya qirad dan
syirkat).
PENUTUP
Telah disebutkan di
atas bahwa fondasi dasar muamalat adalah pelarangan riba dan penghalalan
perdagangan. Kita perlu memahaminya dalam konteks sistem kapitalisme yang kita
anut saat ini, dan melihat bahwa sistem kapitalisme adalah riba itu sendiri.
Kapitalisme adalah penumpukan dan penimbunan harta, dan karena itu bertolak
belakang dengan muamalat, bahkan dengan Islam, yang tiada lain adalah
pemerataan kekayaan. Karenanya mustahil untuk mengislamkanya, sebab itu berarti
kita harus menghalalkan sesuatu yang haram, sebagaimana upaya yang tengah
dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin saat ini. Kita tidak memiliki, dan tidak
membutuhkan, ”Ekonomi Islam”. Kita membutuhkan, dan memilki, Muamalat.
Kapitalisme, Riba, adalah sebuah Kebatilan. Dalam kenyataannya saat ini kita
tengah menyaksikan awal runtuhnya Kapitalisme pada tingkat yang belum pernah
terjadi sebelumnya. Kalau sebelumnya krisis Kapitalisme terjadi pada tingkat
korporasi, dan karena itu masih terus mampu mengkonsolidasi diri, kini krisis
itu terjadi pada fondasinya, yaitu tingkat negara. Sekali fondasi ini runtuh
tidak akan dapat dipulihkan kembali. Muamalat, Dinar dan Dirham, perdagangan,
adalah sesuatu yang haq. Tugas setiap muslim di zaman ini adalah menegakkan dan
menghadirkan kembali yang haq ini.
Penerapan kembali muamalat, melalui perdagangan yang halal, dengan Dinar
dan Dirham, di ambang runtuhnya Kapitalisme ini juga telah semakin kokoh. Pada
tahun 2012 ini kita akan melihat beberapa lompatan besar.
Sekurangnya ada tiga
hal yang bisa disebutkan di sini yang mungkin akan berlangsung pada 2012:
• Sebanyak 5-6 kesultanan di Nusantara
akan secara resmi mulai mencetak Dinar dan Dirham, serta Fulus, masing-masing;
dengan berada dalam satu standar internasional, yaitu World Islamic Mint (WIM).
Kesultanan-kesultanan di Nusantara ini mencakup wilayah yang kini menjadi
bagian dari Thailand, Malaysia, Indonesia, Singapura, dan Filipina.
• Dengan beredarnya kembali Dinar dan
Dirham secara resmi dan luas ini akan segera diikuti dengan beroperasinya
infrastruktur penitipan (wadi’ah), dan sistem pembayaran yang akan dilengkapi
dengan instrumen penunjang elektronik. Dinar dan Dirham akan efektif berlaku
sebagai mata uang regional.
• Berkembangya sistem finansial berbasis
Dinar dan Dirham, serta Fulus, akan diikuti dengan berjalannya kembali
perdagangan internasional melalui jaringan para pedagang di wilayah Nusantara.
Ini sebagai alternatif atas jaringan perdagangan monopolistik yang ada saat
ini. Jaringan ini telah dirintis melalui Nusantara Trading Network (NTN), oleh
para wirausahawan muslim dari Indonesia, Singapura, dan Malaysia – dengan dua
wilayah lain, Sulu (Filipina) dan Pattani (Thailand) akan menyusul.
”Dan katakanlah, ’Yang
haq telah datang, dan musnahlah kebatilan’. Sesungguhnya kebatilan pasti
musnah.” (QS: Al Isra’, 81)
DAFTAR
PUSTAKA
As- Sufi, Shaykh
Abdalqadir (1996). The Return of the Khalifate. Diwan Press, Norwich.
________(2000).
Technique of the Coup de Banque. Kutubia Mayurqa. Spanyol.
________ (2002).
Sultaniyya, Madinah Press, Cape Town.
Bewley, Abdalhaqq dan Douglas A (2005). Restorasi Zakat:
Menegakkan Pilar Islam yang Roboh.
Pustaka Adina, Jakarta.
Haekal, Muhammad H
(2001 ). Sejarah Hidup Muhammad. Litera Antarnusa, Bogor.
Hosein, Imran N.
(2008). The Gold Dinar and Silver Dirham, Islam and the Future of Money.
Masjid Jami’ah,
San Fernando, Trinidad
and
Ibn Khaldun (1967). The
Muqaddimah. Terjemahan Inggris oleh Franz Rosenthal, edisi yang diperingkas dan
disunting oleh N.J. Dawood. Princeton University Press.
Malik ibn Anas (1991).
Al-Muwatta. Penerjemah dalam bahasa Inggris Aisha Abdurrahman Bewley. Madina
Press, Skotlandia.
Saidi, Zaim (2010).
Tidak Syar’inBankyari’ah . Delokomotif,diIndonesiaJogyakarta.
________ (2011).
Euforia Emas. Pustaka Adina, Jakarta.
Vadillo, U Ibrahim
(1991). The End of Economics. Madinah Press, Granada.
_______________ (2003).
The Esoteric Deviation in Islam. Madinah Press, Cape Town.
_______________ (2004).
Foundation of Trading. Diktat kuliah di Dallas College, tidak diterbitkan.
------------------------
(2007). Fatwa on Banking and the Use of Interest Received on Bank Deposit.
E-book di www.shaykhabdalqadir.com.
Yates, Asadullah A.
(1999). Ibn Rushd Mujtahid of Europe. Turmverlag.
http://wakalanusantara.com/media/HPIslam.pdf
Comments
Post a Comment