EKONOMI ISLAM DALAM KONTEKS KE-INDONESIA-AN
( PERSPEKTIF JALAN KETIGA )
Ery Wibowo Agung Santosa
Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Semarang
erywibowo_08@yahoo.co.id
Abstract
This paper is a literature study to trace the
influence of Islamic values in economic
practice in Indonesia. Koperasi concepts can be said as a metamorphosis
of Islamic
real sector of agriculture and trade is a form of defense
mechanism to combat usury as
gharar or speculation, harmfull monopoly and other forms of usury.
The concept and the
idea is actually equal to the concepts and ideas of Islamic
economics. In theory the
concept of hegemony can be categorized as The Third Way or
"jalan tengah" a way to
fight and compete or at least as a counterweight in the face of
the hegemony of the
capitalistic economy.
Key Word : Ekonomi Islam, Koperasi, Bebas Nilai, Jalan
Ketiga
LATAR BELAKANG
Max Weber dalam bukunya The Protestant
Ethic and The Spirit of Capitalismberpendapat ada hubungan erat antara
(ajaran-ajaran) agama dan etika kerja, atau antarapenerapan ajaran agama dengan
pembangunan ekonomi. Weber memang mulai dengananalis ajaran agama Protestan dan
Katolik, disamping itu juga mulai banyak dibahaspengaruh-pengaruh agama lain
seperti pengaruh agama Cina (1915, Taoisme danConfucianisme), India (1916,
Hindu dan Budha), dan Yudaisme (1917). Kuntowijoyopernah berspekulasi dengan
membuat sebuah hipotesis yang dilandasai dari pemikiran Max Weber
di atas, bila etika Protestan melahirkan kapitalisme tentunya etika Islam akan
melahirkan sosialisme. Tentu hipotesis ini telah banyak disanggah dengan
berbagai ragam teori dan pendekatan yang akan mengelaborasi dan
mensintesiskan antara ajaran-ajaran Islam dengan ekonomi.
Ilmu ekonomi meskipun secara empiris merupakan
ilmu pengetahuan yang menggunakan kaidah dan metodologi ilmiah namun sebagai
rumpun ilmu sosial tentunya tidak bebas nilai. Hasil dari penelitian Max Weber
tersebut meskipun kontennya masih terus dapat diperdebatkan tetapi substansinya
sangat jelas bahwa ilmuilmu sosial termasuk ilmu ekonomi tidak bebas nilai.
Lalu bagaimana nilai-nilai Islam dapat mempengaruhi etika kerja dan secara
keseluruhan mempengaruhi pembangunan ekonomi. Dan tentunya hal yang menarik disini
dan jarang disinggung adalah kenyataan budaya bahwa penerapan ekonomi Islam
sebagai bagian ibadah muamalah belum menemukan bentuknya yang baku.
Implementasinya di setiap negara-negara muslim.
Beda budaya beda pula penerapan dan penurunan atau gradasi nilai-nilai Islam
dalam ekonomi. Prinsip dasar Islam yang terangkum dalam ajaran aqidah tentu
semua sama namun bila sudah bersinggungan dalam level muamalah misalnya maka
syari‟ah Islam bias menjadi lentur. Islam hanya mengatur dasar-dasar muamalah
sedangkan implimentasi dalam kehidupan sehari-hari sangat tergantung juga
dengan pengaruh budaya di masing-masing negara. Tentu hipotesis ini butuh
kajian empris dan telaah literatur yang lebih dalam lagi. Kembali kepada pokok
permasalahan tersebut di atas bila penerapan nilai-nilai Islam dalam perspektif
budaya dapat bersinggungan dengan nilai-nilai budaya setempat dan saling
mempengaruhi. Dalam banyak hal Islam selalu memperkuat nilai-nilai budaya
setempat, misalnya nilai budaya gotong-royong yang bertemu dengan nilai Ukhuwah Islamiyah lalu
nilai keduanya berkelindan menjadi bagian nilai baru yang sekilas meskipun
secara eksplisit tidak memunculkan slogan Islam namun secara implisit muatan
nilai-nilai Islamnya dapat ditelusuri dengan jelas. Sebagai contoh dalam bidang
ekonomi, bisa jadi konsep-konsep ekonomi yang pernah digagas oleh para founding father Indonesia
misalnya konsep ekonomi koperasi merupakan bentuk khas ekonomi Islam dalam
konteks ke-Indonesia-an.
Sebuah paham agama atau ideologi lintas negara
akan selalu berinteraksi dengan budaya setempat. Dalam banyak hal implementasi
dari interaksi paham atau ideologi dengan budaya dan konteks setempat akan
memunculkan revisi baru sebagai akibat dari penyesuaian-penyesuian. Revisi itu
ada yang meninggalkan jauh paham atau ideologi induknya tapi ada juga yang
tidak. Landasan pemikiran yang sama juga dapat digunakan untuk merunut lahirnya
paham atau ideologi komunisme di berbagai negara di era tahun 60-an hingga
tahun 80-an, dimana ketika paham tersebut diterapkan pada negara yang berbeda
maka penerapannya pun juga menjadi berbeda.
Komunisme versi Lenin sangat berbeda jauh dengan
paham komunismenya Mao di Cina. Pada era lahirnya paham komunisme, di Eropa
sangat dipengaruhi oleh revolusi industri, industri manufaktur tumbuh pesat di
Eropa termasuk di Rusia, sehingga dalam perspektif ekonomi basis proletar
komunisme di Eropa waktu itu adalah kaum buruh. Hal ini tentu berbeda dengan
kondisi di Cina dimana pertanian menjadi titik sentral pembangunan ekonomi di
Cina waktu itu, sehingga basis kaum proletarnya tidak didominasi oleh kaum
buruh tetapi oleh kaum petani. Penerapan komunisme era tahun 60-an di Indonesia
pun menjadi lentur. Di era Presiden Soekarno paham komunisme mengalami revisi
dan penyesuaian-penyesuian budaya. Sehingga dapat dikatakan bahwa ajaran
sosialisme versi Marhaenisme itu merupakan revisi komunisme yang diajarkan
Soekarno di Indonesia.
Berangkat dari alur pemikiran di atas maka
timbul pertanyaan : apakah hal yang sama juga terjadi dalam perspektif Islam
dalam ekonomi. Mungkinkan penerapan nilainilai Islam dalam ekonomi di setiap
negara memiliki bentuknya masing-masing yang sangat tergantung dari budaya
setempat. Apakah pemikiran ekonomi koperasi dan juga ekonomi Pancasila yang
digagas Mubyarto dapat dikategorikan sebagai gagasan substansi nilai-nilai
Islam yang sedang mengalami metamorphosis dalam konteks pembangunan ekonomi di
Indonesia? Upaya-upaya pencarian gagasan segar tentang konsep ekonomi
alternatif termasuk ekonomi Islam sangat relevan dengan situasi kekinian yang
tengah dilanda kebuntuan sistim besar ekonomi (kapitalis dan sosialis).
Secara faktual ke dua sisitim tersebut tidak mampu
membawa perkembangan ekonomi dunia keluar dari resesi yang berkepanjangan.
Bahkah secara tegas dapat dikatakan bahwa kedua sistim tersebut telah gagal. Di
tengah hegemoni kapitalistik Gidens menawarkan sebuah gagasan teori hegemoni
yang berupa jalan ketiga The Third Way
(Gidens dalam Friedman Thomas, 2005).
ISLAM DAN EKONOMI
Ilmu ekonomi Islam sebagai sebuah studi ilmu
pengetahuan modern baru muncul pada tahun 1970-an, namun sesungguhnya awal
pemikiran Islam telah muncul sejak Islam itu diwahyukan melalui Nabi Muhammad
SAW (P3EI, 2008). Dalam catatan sejarah Islam, Nabi Muhammad mengawali praktik
pembangunan ekonomi di kota Madinah mulai meletakkan dasar-dasar ekonomi yang
mengacu pada nilai-nilai Islam terutama aqidah dan prinsip Tauhid. Hal ini
dapat dilihat saat Rosulullah membangun ekonomi Madinah, beliau berusaha
menerapkan prinsip keadilan dan kesetaraan agar terjadi redistribusi asset
ekonomi diantara warga secara merata proporsional.
Seperti diketahui dalam sejarah bahwa setelah
hijrah kaum Muhajirin yang merupakan salah satu pilar komunitas pembangun
masyarakat Madinah secara ekonomi sangat marjinal. Hal ini bias dipahami karena
kaum Muhajirin telah meninggalkan seluruh harta benda dan aset-aset ekonomi
lainnya di kota Mekah. Maka pada saat itu persoalan pertama dalam ekonomi yang
dihadapi Rosulullah adalah ketimpangan ekonomi social antara kaum Muhajirin
(pendatang) dengan penduduk kota Madinah. Maka kalau dirunut dalam proses
kesejarahaan konsep ekonomi pertama yang akan ditegakkan Rosullullah pada saat
membangun kota Madinah adalah redistribusi kekayaan, sehingga tidak terjadi
ketimpangan ekonomi diantara elemen masyarakat penyangga kota Madinah. Strategi
tersebut dilakukan Rosulullah dengan mempersaudarakan antara kaum Muhajirin
dengan kaum Anshor.
Piagam Madinah sebagai tonggak civil
society dalam sejarah Islam sesungguhnya merupakan kebijakan yang
dalam perspektif ekonomi agar redistribusi roda perekonomian di kota Madinah
berjalan”...jangan sampai kekayaan hanya beredar dikalangan orang-orang kaya
saja diantara kamu” (QS 59:7). Seperti di ketahui bahwa selain kaum Muhajirin
dan kaum Anshor di Medinah juga berrmukim masyarakat dari suku bangsa lain
semisal kaum Yahudi. Rosullullah mendorong agar semua komponen masyarakat
melakukan kerjasama ekonomi sehingga roda perekonomian terus berputar. Konsep
perdagangan dengan Sistim Mudharobah (profit and loss sharing)
sudah diperkenalkan Rosullullah pada masa ini. Kelak kemudian hari para pemikir
ekonomi Islam modern melandaskan pemikirannya pada Sistim Mudharobah sebagai
antitesa dari sistim ekonomi konvensional.
Pengaruh pribadi Rosulullah sebagai seorang
saudagar tentunya turut andil dalam mempengaruhi gaya beliau dalam mengkonsep
sebuah sistim ekonomi yang adil di kota Madinah. Maka dapat dikatakan bahwa
sesungguhnya Islam dan ekonomi sudah merupakan bagian yang tak terpisahkan
sejak awal lahirnya Islam. Persoalan redistribusi kekayaan yang menjadi
persoalan ekonomi pada awal Rosulullah membangun kota Madinah sesungguhnya juga
merupakan sebuah persoalan krusial dan mendasar yang dihadapi oleh semua paham
ekonomi lainnya seperti sosialisme dan kapitalisme.
Nilai keadilan dan kesetaraan dalam konsep
perekonomian yang dijalankan Rosulullah tersebut misalnya dalam sistim profit
and loss sharing atau mudarobah tidak bisa dilepaskan
dari nilai-nilai Tauhid yang sedang di perjuangkan kaum muslimin pada masa itu.
Seperti diketahui bahwa pada dasarnya, ilmu sosial termasuk didalamnya selalu
diawali dan didasari pada nilai-nilai tertentu, baik aspek ontologism,
epistimologismaupun aksiologis.
Dengan demikian tidak ada ilmu ekonomi yang
bebas nilai. Sehingga perlu kiranya mengetahui bahwa dalam ilmu ekonomi Islam
dikenal dengan istilah ilmu ekonomi normatif. Tidak semua hal dalam ekonomi
berlaku positip yang menganggap semua fakta ekonomi merupakan sesuatu yang
bersifat independen terhadap norma atau nilai-nilai tertentu. Sebagai contoh,
hukum penawaran (supplay and demand) yang menyatakan bahwa jika harga
suatu barang meningkat, maka jumlah barang yang ditawarkan akan meningkat, ceteris
paribus, merupakan pernyataan positip. Hukum tersebut berlaku karena para
produsen memandang bahwa kenaikkan harga barang adalah kenaikkan pendapatan
mereka dan motivasi produsen adalah untuk mencetak keuntungan pendapatan sebanyak-banyaknya.
Pernyataan positif ini tidak menjelaskan faktor apakah yang mendorong dan
mengharuskan produsen untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya atau
keuntungan maksimum, wilayah pertanyaan ini sebenarnya wilayah ekonomi
normatif.
Wilayah yang bersifat normatif dianggap
merupakan sebagai sesuatu yang telah ada sebelumnya (given) dan berada
diluar batas analisis ekonomi. Secara faktual sesuatu yang given itu
dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya, agama atau kandungan nilai-nilai lokal
lainnya. Pemahaman yang sudah given ini implementasinya akan membawa corak
tersendiri dalam praktek ekonomi baik secara langsung atau tidak langsung. Hal
ini secara empiris pernah diuji. Menurut Weber, ada pertalian erat antara
(ajaran-ajaran) agama dan etika kerja, atau antara penerapan ajaran agama
dengan pembangunan ekonomi.
PRINSIP
EKONOMI ISLAM
Menurut Khomaini (2005), konsep Ekonomi Islam berbeda dan
tidak mengadopsi sistim Kapitalisme Barat maupun Sosialisme. Sistem Ekonomi
Islam berbeda dari Kapitalisme, Sosialisme, maupun Negara Kesejahteraan (Welfare
State). Dalam artikelnya Mubyarto (2002) menjelaskan berbeda dari
Kapitalisme karena Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap
buruh yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. ”Kecelakaanlah bagi setiap
… yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung” (104-2). Orang miskin dalam
Islam tidak dihujat sebagai kelompok yang malas dan yang tidak suka menabung
atau berinvestasi.
Ajaran Islam yang paling nyata menjunjung tinggi upaya
pemerataan untuk mewujudkan keadilan sosial, ”jangan sampai kekayaan hanya
beredar dikalangan orang-orang kaya saja diantara kamu” (59:7). Disejajarkan
dengan Sosialisme, Islam berbeda dalam hal kekuasaan negara, yang dalam
Sosialisme sangat kuat dan menentukan. Kebebasan perorangan yang dinilai tinggi
dalam Islam jelas bertentangan dengan ajaran Sosialisme. Akhirnya ajaran
Ekonomi Kesejahteraan (Welfare State) yang berada di tengah-tengah
antara Kapitalisme dan Sosialisme memang lebih dekat ke ajaran Islam.
Bedanya hanyalah bahwa dalam Islam etika benar-benar
dijadikan pedoman perilaku ekonomi sedangkan dalam Welfare State tidak
demikian, karena etika Welfare State adalah sekuler yang tidak
mengarahkan pada ”integrasi vertikal” antara aspirasi materi dan spiritual (Naqvi,
h80) Demikian dapat disimpulkan bahwa dalam Islam pemenuhan kebutuhan materiil
dan spiritual benar-benar dijaga keseimbangannya, dan pengaturaan oleh negara,
meskipun ada, tidak akan bersifat otoriter. State intervention,
directed primarily at reconciling the possible social conflict between man’s
ethical and economic behaviors cannot lead the society onto “road to serfdom” but
will guide it gently along the road to human freedom and dignity (Naqvi,
1951.h81, dalam Mubyarto, 2002) Negara intervensi, terutama
ditujukan mendamaikan konflik sosial yang mungkin antara perilaku etis manusia
dan ekonomi tidak dapat memimpin masyarakat ke "jalan menuju
perbudakan" tetapi akan memandu dengan lembut sepanjang jalan menuju
kebebasan manusia dan martabat (Mubyarto, 2002) empat prinsip utama yang
dikedepankan dalam ekonomi Islam yaitu : Kesatuan (unity), Keseimbangan
(equilibrium), Kebebasan (free will). dan Tanggungjawab (responsibility).
Prinsipprinsip tersebut dalam literatur lain (P3EI,2008) dikembangkan lagi
menjadi prinsip equal opportunity atau pemerataan dalam
kesempatan (QS : 11 : 16), symmetric information atau
informasi simetri.
Sampai saat ini belum dapat dipastikan bahwa ada negara yang
mengadopsi penuh paham Ekonomi Islam secara menyeluruh. Kesejahteraan ekonomi
yang ditunjukkan oleh negara-negara Timur Tengah seperti Arab Saudi, Qatar, UEA
dan lainlain masih diragukan merupakan implementasi dari penerapan Ekonomi
Islam. Negaranegara tersebut bahkan mungkin dapat dikatakan merupakan „boneka‟
kapitalisme barat yang hendak dipertahankan justru untuk membendung penerapan
nilai Islam berkembang dan menemukan identitasnya dalam ekonomi.
Hal ini tentu saja sangat ironi mengingat Timur Tengah
justru merupakan pusat lahirnya Agama Islam. Mungkin kalau boleh jujur, Negara
Islam Iran bisa dikatakan merupakan model yang mendekati Sistim Ekonomi Islam
meskipun hal ini juga masih dapat diperdebatkan juga. Nilai-nilai kepemimpinan
(imamah) dalam Mahzab Syi‟ah sangat kental mempengaruhi paham ekonomi
negara tersebut. Meski secara idiologi mahzab Syi‟ah sendiri masih sangat
kontroversial, namun ada beberapa prestasi yang patut di catat di negeri ini,
bahwa Iran merupakan Negara di Asia yang nyaris tidak terjerat Hutang Luar
Negeri dan Lembaga Moneter Dunia seperti IMF dan Bank Dunia, tingkat pendapatan
perkapita penduduknya relatif tinggi dan tidak ada kesenjangan ekonomi.
Meskipun negeri ini diembargo Perdagangan Internasional
tetapi roda pertumbuhan ekonominya bisa dikatakan stabil justru ketika dunia
sedang mengalami resesi. Tentu saja hal ini sedikit banyak merupakan pengaruh
dari nilai-nilai Islam yang secara resmi dijadikan landasan idiologi untuk
mengatur negara secara keseluruhan termasuk dalam mengatur perekonomian.
Bagaimana dengan penerapan ekonomi dengan nilai-nilai Islam di negara-negara
lain?
JALAN
KETIGA (THE THIRD WAY)
Era globalisasi dengan sistem pasar bebas menjadikan setiap
roda perekonomian dikelola dengan prinsip ekonomi yang rasional dan tidak
manusiawi. Dengan alasan efektivitas, efisiensi, dan produktivitas, pasar bebas
mengabaikan pemihakan pada pelaku ekonomi lemah. Prinsip-prinsip tersebut hanya
bermuara pada pengabdian kepada keuntungan belaka. Siapa yang kuat itu yang
menang, menjadi slogan dari pasar bebas. Di saat itulah perdagangan bebas
berhadap-hadapan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keberpihakan. (Ery &
Nur, 20011) Selama ini seakan tidak ada pilihan lagi bagi perekmbangan ekonomi
dunia. Saat ini sistim perekonomian bangsa berkutat pada perdebatan dua model
pendekatan :
Ø Pertama, pendekatan kapitalis yang memandang
modal finansial sebagai faktor utama dalam pertumbuhan ekonomi.
Ø Kedua, pendekatan manusia, yang
memandang sumberdaya manusia yang menjadi faktor utama dalam pembangunnan
ekonomi.
Kedua pendekatan itu telah dilakukan. Yang pertama oleh
negara-negara liberalkapitalis di Eropa, sedangkan pendekatan kedua
dilaksanakan oleh negara-negara sosialis. Pendekatan- pendekatan tadi memiliki
kekuatan dan kelemahan. Kekuatan pendekatan pertama yang bertolak dari
kepemilikan modal menjadikan perekonomian suatu negara bisa berkembang cepat
dengan pertumbuhan yang tinggi. Sekalipun demikian, pendekatan kapitalis
tersebut menimbulkan dampak negatif antara lain :
Ø Pertama, karena terjadinya eksplotasi dan
marginalisasi tenaga kerja yang menciptakan pengangguran dan kemiskinan.
Ø Kedua, sering menimbulkan kelebihan produksi
dan jatuhnya harga barang-barang.
Ø Ketiga terjadi siklus bisnis yang berulang
ulang,
Ø keempat, terciptannya konsentrasi kekuatan
ekonomi dan kesenjangan sosial-ekonomi di tingkat nasional dan internasional.
Ø Kelima, terjadinya eksploitasi dan monopoli
oleh yang kuat kepada yang lemah dan kerusakan lingkungan hidup serta
terancamnya kelestarian sumberdaya alam.
Sistem Kapitalis-Liberal juga menimbulkan krisis finansial
global dan resesi perekonomian dunia, seperti yang akhir-akhir ini terjadi.
Sementara itu sisitim sosialis pada umumnya proses perkembangan ekonomi itu
tidak didasarkan oleh motivasi individu maupun kelompok, melainkan dengan cara
mobilisasi dari atas, sehingga timbul dua gejala yang pertama, proses
eksploitasi terhadap sumberdaya manusia. Sedangkan yang kedua, tingkat
pendapatan masyarakat rendah, daya beli rendah dan tidak terbangunnya pasar
yang luas.
Dengan demikian, hukum yang mengatakan bahwa penawaran akan
menciptakan permintaan sendiri tidak terjadi. Selain itu,sebagai hasil
ekploitasi terhadap sumberdaya manusia justru negara dan bukannya masyarakat
yang bisa memperoleh penerimaan yang besar. Penerimaan negara itu kemudian
menimbulkan akumulasi kapital sebagai sumber investasi negara, yang kemudian
dipakai untuk membiyai pemerintahan sipil maupun militer. (Ery & Nur,2011)
Seakan perkembangan ekonomi dunia telah berhenti pada dua pendekatan ini,
sehingga Anthony Giddens dalam Teori Hegemoninya menyebutkan perlunya
jalan ketiga”The Third Way”sebagai jalan alternatif diluar
kebuntuan kedua pendekatan di atas.
Maka dalam wacana ini Islam diletakan dalam bingkai jalan
ketiga dari keduapendekatan ini. Gagasan Anthony Gidden tersebut sangat asuk
akal mengingat secarafaktual ekonomi global sedang berjalan menuju kebangkrutan
dengan ditandai olehkegagalan ke dua jalan pendekatan diatas yaitu kapitalis
dan sosialis. Namun Giddens tidak merinci secara tegas jalan ketiga itu
sebagai sebuah paradigma yang utuh. Beberapaeksperimen lokal yang mencoba
keluar dari hegemoni dua pendekatan tersebut sudah dapat dikatakan sebagai
model pendekatan ketiga. Dalam perspektif tersebut Islam sebagai sebuah sistim
dapat dikategorikan sebagai kekuatan ke-3 (tiga) yang diharapkan dapat
membawa angin segar perubahan.
Namun terdapat kendala dimana saat ini phobia terhadap
Islam di kalangan barat masih menjadi kendala besar bagi sistim Islam
untuk tumbuh berkembang secara alami sebagai paradigma ekonomi jalan
ketiga. Di Indonesia sendiri di era penjajahan (tahun 1940-an) phobia terhadap
Islam benihnya sudah ditanam oleh bangsa Belanda. Ide-ide ataugagasan besar
yang membawa sistim Islam khususnya dalam bidang ekonomi bagi kaumintelektual
saat itu kurang begitu diminati karena stereotip-stereotip negatif yang diarahkan
secara membabi buta pada Islam. Selanjutnya Anthony Giddens dalam teori
Hegemoninya menyebutkan koperasi sebagai ”The Third Way” atau
”Jalan Tengah” untuk melawan dan menandingi atau paling tidak
sebagai penyeimbang dalam menghadapi hegemoni ekonomi kapitalistik.
Dalam realitanya, perkembangan lahirnya koperasi dilandasi
sebagai sebuah bentukperlawanan hegemoni kekuatan kapitalistik dan imperialisme
penjajahan Belanda kepadabangsa Indonesia. Meskipun mayoritas penggagas
koperasi adalah kaum muslimintelektual saat itu namun dalam praktiknya
nilai-nilai Islam tidak muncul secara eksplisit dalam pergerakan koperasi
tersebut. Ide-ide ekonomi dalam koperasi secara substansif mengarah pada
redestribusi asset ekonomi agar merata diseluruh anggotaanggotanya.
Sisa Hasil Usaha (SHU) yang dibagi secara merata diantara
anggota-angotakoperasi merupaka implementasi dari konsep redestribusi agar
asset ekonomi tidakberputar dikalangan orang-orang kaya tertentu saja. Hal ini
sesuai dengan jiwa dan nilaiIslam “..jangan sampai kekayaan hanya beredar
dikalangan orang-orang kaya saja diantara kamu...” (QS, 59:7). Secara
implisit sistim kelola ekonomi seperti koperasi ini merupakan ruh ekonomi
yang pernah diterapkan rosulullah ketika melakukan pembangunan ekonomi di
kota Madinah. Namun apakah model ekonomi koperasi sebangun dengan model
Ekonomi Islam perlu dikaji lebih jauh lagi.
Dalam wacana ini dimunculkan sebuah tesis bahwa ekonomi
koperasi merupakan metamorphosis dari ekonomi Islam dalam konteks
ke-Indonesia-an. Banyak sekali muatan nilai-nilai lokal dalam koperasi
seperti nilai gotong royong merupakan ruh dari nilai Islam juga yaitu ukhuwah
yang secara bebas bisa disejajarkan dengan nilai gotong royong. Namun demikian
apakah koperasi ini merupakan pengaruh langsung dari sebuah penerapan
nilainilai seperti dalam konteks penelitian Max Weber perlu kiranya diuji
secara empiris dimasa mendatang. Untuk lebih memberi gambaran tentang
sejarah perkoperasian di Indonesia berikut ini dipaparkan secara sekilas.
Pertumbuhan koperasi di Indonesia dipelopori oleh R. Aria
Wiriatmadja (1896), mendirikan koperasi simpan pinjam. Selanjutnya Boedi Oetomo
dan Sarekat Islam menganjurkan berdirinya koperasi untuk keperluan rumah
tangga. Sarekat Islam lebih konkret lagi mengembangkan koperasi yang bergerak
di bidang keperluan sehari-hari dengan cara membuka toko-toko koperasi.
Berkembang pula di awal-awal koperasi Syirkatul Inan milik NU tahun 1918 di Jombang.
Kegiatan serupa juga dilakukan oleh Partai Nasional
Indonesia di bawah pimpimnan Ir. Soekarno, di mana berdasarkan keputusan
kongres 1929 bahwa untuk meningkatkan kemakmuran penduduk Bumi Putera harus
didirikan berbagai macam koperasi di seluruh Pulau Jawa khususnya dan di
Indonesia pada umumnya. Kongres Muhamadiyah pada tahun 1935 dan 1938 memutuskan
tekadnya untuk mengembangkan koperasi di seluruh wilayah Indonesia, terutama di
lingkungan warganya. Berbagai koperasi dibidang produksi mulai tumbuh dan
berkembang antara lain koperasi batik yang diperlopori oleh H. Zarkasi, H.
Samanhudi dan K.H. Idris. Ini adalah pejalan koperasi Indonesia yang tidak akan
terpengaruh dengan adanya paham kapitalime dan liberalisme.
Koperasi sendiri bisa dikatakan menggunakan pendekatan ke 3
(tiga) karena sistim ini sifat-sifatnya tidak sama dengan sistim kapitalis
namun demikian meski mengusung konsep gotongroyong dan kebersamaan koperasi
bukan merupakan gagasan yang lahir dari sosialisme. Ekonomi koperasi
sendiri merupakan implementasi dari amanah konstitusi yaitu UUD 1945.
Perlu diketahui bahwa pada awalnya gagasan mukadimah dari konstitusiUUD 1945
secara eksplisit memasukkan unsur syari‟ah Islam yang berbunyi : …menjalankan
syari‟at Islam bagi pemeluknya masing-masing, ini artinya bahwa semangat
nilai-nilai Islam sudah muncul sejak founding father menggagas
bentuk Negara Indonesia ke depan termasuk dalam konsep pembangunan
ekonominya.
Namun setelah mengalami kompromi maka naskah asli dari
mukadimah UUD 1945 yang dikenal sebagai Piagam Jakarta itu dihilangkan
sehingga teks mukadimah dari UUD 1945 menjadi seperti dalam bentuknya yang
sekarang. Meskipun kata syari‟ah telahdihilangkan dari mukadimah UUD 1945,
namun jiwa Islam masih sangat lekat dalamseluruh bangunan konstitusi tersebut
tidak ada perubahan yang signifikan dalam pasalpasalnya.
Sehubungan dengan konsep pembangunan ekonomi Pasal 33
UUD 1945 dan penjelasannya secara tegas mengamanatkan bahwa asas dan sendi
perekonomian nasional harus dibangun sebagai usaha bersama atas azas
kekeluargaan. Hal ini berarti pula bahwa perekonomian nasional harus dibangun
berdasar azas equal atau kesejajaran.ekonomi, di mana kegiatan ekonomi pada
intinya dilaksanakan dari rakyat dan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pada awal berdirinya sesungguhnya semangat koperasi ini
digunakan untuk melawan imperialisme ekonomi dalam bentuk monopoli. Konsep
kebersamaan tanggung renteng dalam koperasi juga merupakan implementasi dari
konsep ekonomi untuk melawan ekonomi riba. Konsep riba dalam Islam sesungguhnya
merupakan bentuk perlawanan dari sistim ekonomi yang hanya menguntungkan kepada
segelintir pengusaha kaya. Cita-cita perjuangan ekonomi koperasi juga merupakan
manifestasi dari perlawanan terhadap konsep ekonomi riba. Dibentuknya
koperasi-koperasi primer yang berbasis sector riil pertanian maupun perdagangan
merupakan bentuk mekanisme pertahanan untuk memerangi riba seperti gharar atau
spekulasi, monopoli yang merugikan dan bentuk-bentuk riba yang lain.
Sesungguhnya koperasi merupakan salah satu pilar untuk
menegakakan dua hal yaitu menjamin kebutuhan dasar bagi masyarakat dan
pemerataan distribusi pendapatan dan kekayaan. Sedangkan pilar lainnya adalah
pemerintahan (daulah) yang secara sinergi seharusnya memiliki tugas
yaitu mengarahkan perkembangan ekonomi nasional akan terus mengerah pada
kepentingan dan kemakmuran rakyat dan mengambil berbagai kebijakan ekonomi dan
non ekonomi yang relevan bagi perwujudan falah atau kemuliaan
masyarakatnya. Sinergi ini merupakan bangunan cita-cita yang hendak
diimplementasikan dalam konsep ekonomi Islam. Dan pernah diterapkan oleh
rosulullah ketika melakukan pembangunan ekonomi di kota Madinah. Jelas sekali
bahwa penjabaran amanah Pasal 33 UUD 1945 seharusnya wujudnya berupa koperasi
dan koperasi sendiri gagasan awalnya equal dengan semangat ekonomi Islam. Maka
tidak berlebihan bila dikemukakan sebuah tesis bahwa ekonomi koperasi
merupakan metamorphosis dari ekonomi Islam dalam konteks ke-Indonesia-an
KESIMPULAN
Ilmu ekonomi meskipun secara empiris merupakan ilmu
pengetahuan yang menggunakan kaidah dan metodologi ilmiah namun sebagai rumpun
ilmu sosial tentunya ilmu ekonomi tidak bebas nilai. Agama dan kearifan budaya
dapat menjadi sumber nilai-nilai yang mempengaruhi bentuk dan praktik ekonomi
di masyarakat. Disisi lain penerapan ekonomi Islam dalam perspektif budaya
bersinggungan dengan budaya setempat membentuk pola yang saling mempengaruhi.
Konsep-konsep ekonomi yang pernah digagas oleh para founding father di
Indonesia misalnya tentang ekonomi koperasi dapat dikatakan sebagai
metamorphosis ekonomi Islam dalam konteks ke- Indonesia-an.
Dibentuknya koperasi-koperasi primer yang berbasis sektor
riil pertanian maupun perdagangan merupakan bentuk mekanisme pertahanan untuk
memerangi riba sepertigharar atau spekulasi, monopoli yang
merugikan dan bentuk-bentuk riba yang lain. Konsep dan gagasan ini sesungguhnya
equal dengan konsep dan gagasan ekonomi Islam. Gidens (dalam Friedman Thomas,
2005) menyebut koperasi dapat dikatagorikan sebagai”The Third Way” atau
”Jalan Tengah” untuk melawan dan menandingi atau paling tidak
sebagai penyeimbang dalam menghadapi hegemoni ekonomi kapitalistik.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’an
Al-Karim dan Terjemahanya.
Departemen Agama RI, Edisi tahun 2002.
Hayati,
Nur & Wibowo, Ery. 2011. Kompetensi Sumber Daya Manusia Menuju Ekonomi
Rakyat
Berbasis Koperasi Indonesia,
Proceeding, Semarang.
Khomaini,
Ayatullah. 2005. Kepemilikan Swasta Dalam Islam,..
Kohar,
Mudzakar, Abdul. 2005. Ekonomi Islam : Suatu Perbandingan Pandangan
Dan
Sejarah Pemikiran,
PPS IPB, Bogor.
P3EI.2008. Ekonomi
Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Mubyarto,
2002. Penerapan Ajaran Ekonomi Islam Di Indonesia, UGM Th. I - No.
1 -
Maret
2002, Yogyakarta.
Mubyarto,
2000. Membangun Sistem Ekonomi. BPFE, Yogyakarta.
Friedman
Thomas, L, 2005 The World is
Flat…………………………………………………
Weber,
Max. 1958. The Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism,
Charles
Scribner‟s
Sons, New York.
Comments
Post a Comment