“
SEDEKAH BUMI Di Desa GUNUNGWUNGKAL “
Mungkin banyak yang mendengar
istilah sedekah bumi atau sedekah laut, di Indonesia umumnya kegiatan semacam
ini masih banyak kita temukan dan masih banyak di lakukan orang-orang Jawa
khususnya. Salah satu kegiatan yang rutin dilakukan di Desa Gunungwungkal,
Kabupaten Pati ini adalah tradisi Sedekah Bumi. Dimana tradisi turun temurun
ini masih dilakukan dan manjadi kegiatan rutin setiap tahunnya.
Sedekah Bumi dilaksanakan pada
hari minggu karena pada hari minggu telah ditetapkan hari libur
nasional, (Legi) dapat diartikan manis berarti hari baik,
bulan(Apit) pada saat bulan itu merupakan musim panen tentang hasil bumi
yaitu: padi, kacang, ketela, jagung, kapuk atau kapas pohon randhu. Dalam
arak-arakan atau pawai mengelilingi pasar sebanyak tiga kali guna
mengantisipasi kondisi pasar melakukan kegiatan dalam keagamaan serta menjaga
kebersihan guna meningkatkan daya beli, dapat memberikan kenyamanan dalam transaksi
jual beli.
Budaya adalah kebiasaan dalam
adat istiadat yang diwariskan leluhur dengan tata cara tertentu yang berkaitan
dengan mitos atau kepercayaan. Sedangkan sedekah bumi mempunyai pengertian yang
sama dengan bersih desa dalam hal kebersihan lingkungan dilaksanakan kerja
bakti secara gotong-royong yang dilakukan secara berkelompok RT, RW, serta
individu atau perorangan pemilik perkampungan dalam lingkungan perumahan, dan
tempat untuk pelaksanaan upacara. Setelah selesai mengadakan kerja bakti pada
malam harinya dilaksanakan malam tasyakuran yang disertai pembacaan doa
dilaksanakan pada satu hari sebelum pelaksanaan tradisi sedekah bumi. Awal
pelaksanaan dilakukan penyembelihan seekor kerbau jantan, setiap kepala
keluarga yang mampu secara sukarela membua tambengan yang berisi nasi
lengkap dengan lauk-pauknya atau dua buah besek (tempat nasi yang
terbuat dari anyaman bambu) dan dibawa kerumah kepala desa dikumpulkan untuk
keperluan hajatan. Sehabis pembacaan doa ambegan atau besekan diberikan kepada
siapa saja yang membutuhkannya, biasanya banyak orang yang datang dari desa
lain untuk meminta ambegan tersebut orang ini disebut dengan orang ngawu.
Sedekah bumi juga memiliki
tradisi membakar menyan pada saat ritual perwujudan persembahan pada Tuhan Yang
Maha Esa. Membakar “dupa” dari kemenyan dengan membaca niat “Niat
ingsun ngobong menyan telaning iman, urubing cahyo kumara, lakune ngambah
swarga, ingkang nampi dzat ingkang maha kuwa”. Yang artinya: saya berniat
membakar kemenyan sebagai pengikat iman, nyalanya kemenyan merupakan cahaya
kumara, asapnya diharapkan sampai surge, dan dapat diterima oleh Tuhan.
Dalam
persiapan pelaksanaan tradisi Sedekah Bumi Kepala Desa mengadakan rembuk desa
atau rapat desa dengan melibatkan sesepuh desa, tokoh masyarakat dan pemuda-pemudi.
Dalam musyawarah mufakat yang telah dilaksanakan membahas mengenai pembentukan
kepanitiaan sedekah bumi dan ulang tahun hari jadi desa Gunungwungkal serta
menentukan anggaran dana yang harus diperlukan dalam acara tersebut.
Ada beberapa adat dan instrumen
upacara dalam sedekah bumi di desa Gunungwungkal, kecamatan Gunungwungkal,
kabupaten Pati diantaranya adalah:
1. Bendera
merah putih merupakan benda kebesaran bangsa Indonesia yang dapat mempertebal
semangat kebangsaan cinta tanah air, patriotisme, idealisme serta memiliki
sifat berani membela kebenaran, mempertahankan kesatuan Republik Indonesia
untuk menanamkan pada diri pelajar sebagai calon penerus pemimpin bangsa.
2.
Tombak dan Keris merupakan senjata (pusaka) yang digunakan untuk
memberantas kerusuhan dan tindak kejahatan pada waktu pemerintahan kepala desa
pertama.
3. Cemeti (Cambuk)
sebagai penggerak dalam peningkatan ilmu pendidikan dan pengetahuan ilmu budi
pekerti tingkah laku, sikap dan penanaman jiwa disiplin dan patuh pada
peraturan dan undang-undang.
4. Topong (Mahkota
Kebesaran) sebagai kehormatan dengan menjunjung tinggi kewibawaan sebagai
aparat desa atau dalam penyelesaian perkara yang timbul dalam mengedepankan
musyawarah guna mendapat kesepakatan bersama.
5. Payung melambangkan
bahwa menjabat sebagai aparat atau perangkat desa ataupun sebagai pejabat desa
dapat (mengayomi) atau dapat memberikan perlindungan, membimbing dan dapat
melayani masyarakat atau penduduk desa.
6. Kuda adalah
binatang yang memiliki keistimewaan jelajah yang tinggi (berlari lebih cepat)
yang dapat bermanfaat bagi masyarakat jaman dulu sebagai sarana transportasi
yang menjadi sumber daya manusia, untuk mengangkut penjualan hasil bumi.
8. Dupa (Kemenyan)
membakar kemenyan dan berdoa suatu wujud nyata bersyukur kepada Allah
sesembahan manusia yang telah memberikan rahmat serta melimpahkan hasil bumi
serta sebagai penghormatan terhadap pendahulu atau nenek moyang
(disebut Kaki Danyang Nyai Danyang).
9. Jolen suatu
bentuk bangunan mini atau miniature rumah atau masjid dengan ukuran tinggi 1,5
meter, panjang 1,5 meter yang bermakna keberhasilan pembangunan. Bentuk
bangunan masjid mini dengan ukuran tinggi 1,5 meter, panjang 1,5 meter sebagai
gambaran bahwa dengan keberhasilan dalam kehidupan tidak lepas dalam karunia
Allah.
10. Barongan dan Reog merupakan
kesenian tradisional seperti barongsai dari Cina namun dibuat dengan sederhana
bahan baku dari glondongan biasa dibuat betuk kepala harimau dan dihiasi bulu
ayam serta kain panjang 3 meter lebar 2 meter dan diberi ekor.
Sisi
mistik
Ada sisi mistis dalam prosesi sedekah bumi gunung wungkal. Seperti beberapa hal yang wajib ada adalah kuda. Menurut warga setempat, kuda tersebut nantinya akan ditunganggi oleh Ki Sentono yang oleh penduduk setempat dipercaya sebagai dayang desa Gunung Wungkal. Selain kuda, pusaka Ki Sentono yang berupa cemeti dan topi polkah serta beberapa pusaka pun akan ikut diarak keliling desa.
Sebelum iring-iringan karnaval keliling desa Gunung Wungkal di mulai, terlebih dahulu para sesepuh desa memanjatkan doa. Selesai memanjatkan doa, kuda yang sudah disiapkan beserta dengan pusaka Ki Sentono berupa Cemeti, Topi Polkah, keris tombak dan lainnya diarak keliling desa. Namun tiap kali para sesepuh selesai memanjatkan doa, kuda yang disiapkan untuk diarak tampak tubuhnya bergerak dan seolah ada yang menaiki. Kuda tersebut lantas dituntun dan diiring memutar pasar Gunung Wungkal tiga kali terlebih dahulu baru kemudian berjalan keliling desa bersama dengan pusaka-pusaka tersebut.
Walau mata biasa kuda tersebut tampak tak berpenunggang, namun bahasa tubuh sang kuda mengatakan seolah kuda tersebut berpenunggang. Hal tersebut tampak sewaktu kuda tersebut dituntun keliling pasar agak berat melangkah dan pungungnya ke bawah seolah ada penunggang di punggungnya. Bahkan beberapa tahun yang lalu, ada kuda yang sudah disiapkan untuk diarak keliling desa, baru tiga kali keliling pasar sudah jatuh dan keringat dari kuda tersebut tampak bercucuran. Penduduk setempat mempercayai kalau Ki Sentono sang dayang ikut dalam prosesi kirab tersebut dengan naik kuda.
Comments
Post a Comment